Resensi buku WAWASAN PANCASILA EDISI KOMPREHENSIF oleh Budhy Munawar-Rachman
Pancasila telah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika negara ini didirikan. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah hasil dari penggalian karakter dan budaya masyarakat Indonesia. Sejarah kelahiran Pancasila pada 1 Juni, misalnya adalah tonggak berharga bagi perjalanan bangsa Indonesia. Sebagai dasar Negara, Pancasila menjadi jiwa dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia.
Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan.
Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih perlu banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum sepenuhnya mampu diwujudkan secara riil.
Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa.
Rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus memakainya untuk menumpas lawan-lawan politiknya baik atas nama tidak Pancasilais atau pun karena tuduhan terkait dengan komunisme yang telah dilarang melalui ketetapan MPRS.
Dan, ketika Orde Baru ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia pun telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya secara mendalam.
Memberi Makna Pancasila
Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi di tengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.
Dua puluh tahun Indonesia memasuki era reformasi. Berbagai perubahan telah dilakukan untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung ideologi Pancasila. Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-ekonomi yang belum terjawab. Eksistensi dan peranan Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan.
Pertanyaan lantas muncul belakangan ini apakah “kesaktiannya” masih bisa diandalkan ditengah arus globalisasi dengan beragam ideologi yang memboncenginya? Mampukah Pancasila memberikan pengharapan lebih baik untuk negeri ini?
Dilihat dari faktanya sungguh memprihatinkan. Kehidupan kebangsaan sekarang diliputi cuaca kebatinan dengan megamendung kerisauan, pertikaian, dan penggelapan. Sulit menemukan bintang penuntun yang menerbitkan kesamaan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju.
Menurut Yudi Latif dalam buku ini, visi kebangsaan ibarat cermin kebenaran yang jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap pihak hanya memungut satu kepingan, lantas memandang kebenaran menurut bayangannya sendiri. Rasa saling percaya pudar dan bhineka warna sulit menyatu. Merebaknya kekerasan bernuansa agama merupakan kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamatan ketuhanan pada sila pertama yang tak berkebudayaan.
Reformasi belum berlangsung dengan baik karena Pancasila belum difungsikan secara maksimal sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila, tetapi belum memahami makna sesungguhnya.
Jika kita lihat pada awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. Begitupun, dalam pengajaran di sekolah, perilaku tokoh publik dan politisi masih kurang untuk menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
Buku Wawasan Pancasila ini mengusulkan pembudayaan Pancasila sebagai cara untuk mengubah mental dan perilaku bangsa Indonesia.
Dalam buku ini, Yudi mengakui ada jurang lebar antara identitas Pancasila dan realitas pembumiannya. Jurang lebar antara idealitas dan realitas Pancasila itulah yang menjadi sumber krisis kebangsaan hari ini.
Kehidupan kebangsaan hari ini diliputi cuaca kebatinan dengan megamendung kerisauan, pertikaian, dan penggelapan. Sulit menemukan bintang penuntun yang menerbitkan kesamaan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju. []