Refleksi Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan tentang Pahlawan Indonesia
Sejauh ini, kita gagal mentransmisikan kisah keteladanan para “pahlawan” bangsa, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Pelajaran sejarah menyempit menjadi sejarah (tahun) peperangan dan silsilah kerajaan, tidak membantu menemukan mutiara “pesan moral” yang terpendam dalam lumpur sang waktu. Pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir hafalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani.
Dengan demikian, kita mengalami kemiskinan wahana untuk mencetak nilai-nilai luhur bangsa yang diidamkan menjadi karakter bangsa. Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani/Latin, “kharassein”/ “kharaktêr”, yang berarti tulisan, lukisan, cetakan, atau pahatan. Singkat kata, karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman.
Mengenal Pahlawan melalui literasi
Siswa dan masyarakat memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dan pahlawan itu. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan ini tidaklah diajarkan (taught) secara kognitif lewat hafalan dan “pilihan ganda”, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif. Dalam hal ini, kisah-kisah rekaan (fiksi) dalam kesusastraan dan kisah-kisah nyata dalam kesejarahan merupakan medium yang efektif sebagai wahana pendidikan karakter.
Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia.
Betapa banyak orang terinspirasi setelah membaca kisah para nabi dan pejuang kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Bahkan, sebagian besar isi kitab suci, yang menjadi pedoman hidup miliaran manusia di muka bumi, memuat kisah-kisah keteladanan. Jika pahlawan-pahlawan rekaan saja bisa memberikan pengaruh yang kuat bagi moralitas masyarakat, apalagi kisah para pahlawan sungguhan, yang dengan segala kelebihan dan kekurangan manusiawinya bisa menyadarkan sesama manusia lain untuk meniru keteladanannya.
Pahlawan fiksi vs Pahlawan Sungguhan
Bangsa ini pun sesungguhnya memiliki “pahlawan-pahlawan” dengan keagungannya tersendiri dalam berbagai bidang kehidupan, baik dari kalangan “wong elite” (kalangan atas) maupun “wong alit” (rakyat biasa). Tetapi, kisah-kisah keteladanan mereka tidak terpublikasikan secara menarik dan meluas, terpendam di belam kesemarakan kisah-kisah skandal selebritas, sinetron picisan dan reality show murahan, serta kegemparan kabar buruk dunia politik.
Suatu usaha harus dilakukan untuk mengangkat mutiara bangsa yang terpendam ini ke altar kesadaran publik. Tantangan ini semakin mendesak seiring dengan bangkitnya kesadaran umum akan pentingnya menghidupkan kembali Pancasila sebagai pedoman hidup dalam membangsa dan menegara.
Mari kita tengok kembali siapa pahlawan kita, baca sejarahnya dan contoh keteladanannya.