FENOMENA disrupsi kian mewabah hampir di semua sektor usaha. Dimulai dari sektor transportasi, logistik, ritel, pariwisata, telekomunikasi, perbankan, hingga bisnis keuangan. Perubahan itu berlangsung cepat dan mengacaukan sistem yang ada.
Lantas, apakah peristiwa disrupsi itu menjadi bahan pembelajaran untuk sektor lain? Jawabannya belum tentu. Hal itu diungkapkan Rhenald Kasali dalam buku terbarunya berjudul Self Disruption yang diterbitkan Mei 2018.
“Industri tambang, manufaktur dan farmasi benar-benar terlena. Padahal, tentu saja terjadi perubahan-perubahan mendasar di dalamnya,” sebut Rhenald di halaman 13.
Ambil contoh industri tambang. Di era teknologi yang semakin canggih ini, jelas Rhenald, telah terjadi perubahan cara-cara menambang misalnya dengan kemunculan peta tambang yang kini sudah bisa dibaca dari jarak jauh. Belum lagi bicara soal logistik atau customer relationship-nya. Semuanya terancam disrupsi.
Para pelaku usaha di sektor tambang berpikir mereka masih aman. Mereka pikir mereka rugi hanya karena kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada mereka. Mereka pikir harga yang turun disebabkan permintaan dunia yang menurun.
Rhenald prihatin sekaligus penasaran mengapa kebanyakan para pelaku usaha tambang masih memiliki pola pikir demikian. Semua masih dilakukan dengan cara-cara dan metode lama.
Padahal, sudah banyak perusahaan tambang yang pailit, bangkrut dan tak jarang memunculkan zombie companies, atau perusahaan yang tetap beroperasi meskipun bisnis mereka sebetulnya sudah bangkrut. Mereka hidup dari utang.
Hal itulah yang terjadi di Amerika Serikat. Laporan SNL Energy menyebutkan, sejak 2012 sudah lebih dari 40 perusahaan batu bara di AS bangkrut dan meninggalkan utang miliaran dolar AS. Bagaimana dengan Indonesia? Di Kalimantan Timur saja, diketahui ada 125 perusahaan tambang batu bara ditutup pada 2015.
Keprihatinan dan rasa penasaran Rhenald pun terjawab setelah pertemuannya dengan Garibaldi Thohir, CEO of PT Adaro Energy Tbk, di penghujung Agustus 2017. Rhenald menemukan pencerahan.
Perbincangan malam itu diawali Rhenald dengan bertanya, mengapa Adaro begitu optimistis tetap bertahan saat banyak perusahaan batu bara yang terdisrupsi akibat turunnya harga migas?
Boy, panggilan akrab Garibaldi Thohir, menjawab, “Kuncinya adalah keberanian Adaro untuk mendisrupsi diri sendiri. Jadi, sebelum terdisrupsi, atau persisnya agar bisnis kami tidak terdisrupsi, kami memilih untuk mendisrupsi diri kami sendiri.”
Adaro adalah sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam industri pertambangan batu bara dan mendisrupsi diri sendiri dipilih Adaro untuk tetap hidup. Keputusan itu jelas membawa konsekuensi besar tentunya bagi internal perusahaan.
Diketahui, disrupsi pada dasarnya perubahan yang muncul akibat inovasi besar-besaran dan radikal, yang membuat banyak produk, teknologi, cara-cara dan metode yang kita kenal di masa lalu menjadi obsolete.
Segala sesuatu yang semula berjalan dengan normal-normal saja dan serba teratur tiba-tiba harus berubah dan berhenti secara mendadak akibat hadirnya sesuatu yang baru. Di sini, yang dimaksud sebagai ‘sesuatu yang baru’ bisa banyak hal: teknologi baru, proses bisnis yang baru, para pemain baru, aplikasi-aplikasi yang baru, model bisnis yang baru, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut.
Disruptive mindset
Nah, dalam industri batu bara, disrupsi terjadi ketika adanya penemuan shale gas dan shale oil setelah berkembangnya teknologi hydraulic fracturing atau fracking. AS telah memanfaatkannya untuk mengeksplorasi cadangan energi yang tersembunyi di sela-sela atau terperangkap di dalam bebatuan serpih. (halaman 21)
Jangan tertipu dengan kata serpih karena bisa jadi ukurannya justru sangat besar sebesar gunung yang terkubur di perut bumi. Mantan Presiden AS Barack Obama bahkan mengklaim, dengan teknologi itu AS bisa mengamankan pasokan migas hingga 100 tahun ke depan.
Dari keterangan Boy pula, Rhenald mengetahui cara Adaro mendisrupsi dirinya sendiri. Dimulai dengan menerapkan operational excellence (opex) dalam bisnis-bisnis yang dimasuki.
Opex yang biasa diterapkan di industri manufaktur adalah konsep agar perusahaan memiliki keunggulan operasional pada setiap proses bisnisnya, jika dibandingkan dengan perusahaan lain. Ide opex digagas Teddy P Rachmat, mantan CEO of PT Astra International Tbk yang juga pendiri Grup Triputra. Di Adaro, Teddy menjabat Wakil Presiden Komisaris PT Adaro Energy Tbk.
“Untuk betul-betul built in, opex harus menjadi budaya perusahaan, menjadi tata nilai yang melekat pada setiap karyawan. Agak merepotkan ya,” ujar Rhenald kepada Boy.
Boy tak menampiknya. “Betul. Begitulah cara kami mendisrupsi diri sendiri. Kami membiasakan diri untuk berada dalam kondisi repot. Jadi ketika kondisi betul-betul susah, kami sudah terbiasa,” jawab Boy.
Rhenald pun menyebut pemikiran Boy itu sebagai disruptive mindset. Berani membuat diri susah lagi. Langkah berani Adaro lainnya ialah mereka mengambil alih bisnis-bisnis yang semula dikelola pihak ketiga, sekaligus dengan perusahaan-perusahaannya.
Lalu, perusahaan itu dipaksa beroperasi dengan business model dan leadership yang baru agar tingkat efisiensinya tinggi. Mereka dituntut untuk menerapkan konsep opex. Hasilnya, Adaro berhasil menjadi salah satu produsen batu bara dengan biaya terendah di dunia.
Disruptive leadership
Buku ketiga dari serial Disruption ini memang dominan membahas fenomena disrupsi di sektor pertambangan. Berbeda dengan buku sebelumnya yang mengupas fenomena disrupsi secara umum.
Selain mengambil contoh Adaro, Rhenald menggambarkan secara detail langkah Grup Shenhua, perusahaan energi asal Tiongkok yang terintegrasi dan sukses mendisrupsi dirinya. Adaro maupun Shenhua memiliki model bisnis yang sama. Shenhua tidak hanya menambang batu bara, tapi juga masuk ke bisnis produk kimia berbasis batu bara, logistik pertambangan dan listrik.
Sejak 2013, Shenhua juga menerapkan sistem e-commerce dan e-business. Sistem transaksi daring memberi kesempatan kepada penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi secara real time. Untuk mendukung integrasi vertikalnya, Shenhua kini memiliki 30 anak usaha dengan 210 ribuan karyawan.
Pada bagian lain, Rhenald juga memperkenalkan bagaimana memimpin perusahaan di era disrupsi, lengkap dengan lima ciri disruptive leader, baik di lingkungan pemerintah maupun bisnis. (halaman 95)
Disruptive leader adalah mereka yang berani mendobrak kemapanan yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam, manajemen pemerintahan, dan tata kelola bisnis. Memaparkan perubahan dan disrupsi agar perusahaan dapat beradaptasi dengan dinamika zaman, dan menjabarkan proses mendisrupsi diri sebagai pelajaran.
Secara keseluruhan, buku setebal 400 halaman itu masih sealiran dengan buku sebelumnya yang telah best seller, yakni Disruption tentang isu yang tengah marak terjadi di dunia bisnis.
Melalui buku ini, pembaca akan memperoleh fakta dan inspirasi dalam menghadapi fenomena disrupsi sekaligus menjadi pemenang yang sulit tumbang.