Ada sebuah buku antik dan unik. Buku itu berjudul Mata Penakluk, karya Abdullah Wong. Disebut antik, karena novel ini ditulis dengan cara yang “berani”.
Disebut berani, karena di novel itu sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagi tema utama disajikan dalam bentuk monolog imajiner. Sehingga saat membaca novel ini kita seakan sedang membaca langsung penuturan Gus Dur. Dalam novel setebal 300 halaman ini kita akan melihat secara imajinatif bagaimana perasaan Gus Dur dalam melihat realitas kehidupan dirinya sendiri.
Tentu, pilihan artikulasi novel dengan “aku lirik” memiliki peluang resiko yang sangat besar, yakni subyektivitas. Tapi, itulah sastra. Sastra sebagai seni literasi selalu punya cara dalam menghadirkan ragam peristiwa. Dan setidaknya, Abdullah Wong sebagai penulis novel ini telah berhasil melompat sekat kebekuan dalam meliat Gus Dur.
Wong, demikian nama akrab penulis novel ini, bukan lagi melihat Gus Dur sebagai orang ketiga, tapi si penulis menempatkan diri untuk masuk dan tenggelam dalam Gus Dur, lalu menghadirkan diksi-diksinya.
Hal yang kedua adalah unik. Novel terbitan Expose ini dikatakan unik karena tidak sebagaimana buku atau novel yang lain, yang biasanya bercerita secara kronologis historis. Novel ini sangat liar. Kita akan diajak secara imajinatif oleh penulis untuk menyusup relung-relung kegelisahan Gus Dur tanpa permisi atau kulonuwun. Secara liar, penulis menghadirkan peristiwa demi peristiwa secara acak, sehingga memungkinkan para pembaca harus selalu terjaga dan tidak boleh lengah menyusuri kata per kata dari setiap bangunan novel ini.
Mungkin, penulis punya alasan. Alasan itu mungkin, di antaranya Gus Dur dianggap memiliki cara berpikir yang liar. Bahwa dalam berbagai kesempatan, Gus Dur memang dikenal selalu menyampaikan hal-hal yang secara tak terduga. Apa yang disampaikan Gus Dur kadang sering dipahami selalu lompat-lompat, tidak kronologis dan sistematis. Padahal, tak tentu Gus Dur memandang realitas secara demikian. Karena jika kita pahami secara saksama, Gus Dur sangat runtut dan sistematis ketika menyampaikan gagasan-gagasannya. Tapi, entah kenapa penulis novel ini menyajikan cerita Gus Dur tidak dengan cara demikian.
Mungkin itulah si penulis. Karena memang, jika kisah hidup Gus Dur ditampilkan dengan gaya kronologis, para pembaca akan mudah lelah dan menyerah karena dapat menebak ujung dari cerita pada novel ini. Sementara, hampir semua kalangan telah tahu–setidaknya sebagian kalangan–bagaimana alur kehidupan Gus Dur, baik sejarah hidup, pemikiran, karier, hingga kelakar-kelakarnya.
Dan strategi penulis novel ini cukup berhasil. Pembaca akan diajak melompat secara acak dan imajinatif. Lompatan penulis bukan hanya pada hal ruang, tapi juga waktu dan pemikiran. Itulah kemungkinan strategi penulis novel ini.
Dalam novel ini, kita akan menemukan bagaimana kecerdasan sekaligus kekonyolan Gus Dur, pendidikan pesantren yang ditempuh Gus Dur, pergulatan diri Gus Dur dengan ayahnya, hingga mimpi-mimpi besar Gus Dur. Tapi, lebih dari itu, novel yang dimulai dengan Gus Dur ketika masih di istana, membuat kita tersadar bahwa kiai nyentrik itu pernah menjabat sebagai presiden di negeri ini. Tentang batin Gus Dur ketika dirinya dilengserkan dari dalam istana misalnya, penulis dengan indah menulis,
“Sejak aku menginjakkan kaki di Istana, aku tak pernah tahu bagaimana wujud Istana negara ini. Perasaanku tetap sama seperti memasuki rumahrumah kalian, sahabatku. Jika di halaman Istana ini berkibar sang merah putih, begitu juga di halaman rumahku dan rumah kalian. Warna bendera kita memang sama, merah dan putih. Tapi untuk saat ini, hujan begitu lebat mengguyur halaman rumah kita. Sehingga bendera kita samasama tak bisa berkibar sempurna. Aku hanya berharap, hujan tak akan melunturkan merahputih kita. Karena aku sangat yakin, matahari akan segera datang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia. Perjalanan negeri ini masih sangat panjang. Selamat berjuang sahabatku, rakyat Indonesia.”
Setelah kisah istana dipotret, penulis menukik jauh kepada sebuah peristiwa pembaptisan Gus Dur sebagai penakluk oleh ayahnya ketika masih bocah. Dari situ, penulis mulai menyeret peristiwa demi peristiwa dengan cara melompat, menukik, bahkan menyelam dan tenggelam di relung batin pribadi Gus Dur.
Selanjutnya, jika membaca novel Mata Penakluk ini, kita akan menemukan bahwa penulis belum selesai atau tuntas menghadirkan Gus Dur. Diduga kuat, penulis sengaja dan tengah menyiapkan kelanjutan novel ini. Mungkin, ini juga strategi lain dari penulis dalam menghadirkan Gus Dur yang memang selalu menghadirkan kontroversi sekaligus kesejukan bagi semua pihak.
Satu hal yang tak bisa dilewatkan, melalui novel ini, kita bisa melihat bagaimana ketika seorang santri menulis sastra pesantren, dengan menghadirkan sosok Gus Dur, yakni sosok yang sangat menghargai pesantren. Karena lewat Gus Dur pula, pesantren ditempatkan posisinya dalam kancah nasional bahkan internasional. Nah, dalam novel ini kita akan melihat bagaimana kehidupan pesantren, dimana Gus Dur sebagai tokoh utamanya.
Judul : Mata Penakluk
Penulis : Abdullah Wong
Penerbit : Expose
Tanggal terbit : Januari-2015
Jumlah Halaman : 301
Peresensi : Sofyan Tsauri