Memasuki abad ke-21 ini, Islam memang menjadi harapan baru untuk menyelamatkan dunia kita dari degradasi beradaban dan kehidupan manusia hampir dalam segala aspeknya. Tapi untuk terjadinya kebangkitan itu, umat Islam memerlukan keberanian untuk melakukan “mandi besar” dari berbagai penyimpangan-penyimpangan besar dari nilai-nilai dasar Islam. Salah satu penyimpangan umat ini dari Islam adalah berbagai perilaku atas nama Islam yang justru tidak mencerminkan akhlaqul karimah yang diajarkan oleh Islam itu sendiri.
Begitu komentar Imam Shamsi Ali, Imam besar Islamic Center New York, Amerika Serikat, asal Indonesia, untuk buku Kebangkitan Kedua Umat Islam karya Yusuf Effendi. Dalam endorsment-nya, tokoh kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu mengaitkan antara semangat kebangkitan Islam tak ubahnya dengan semangat kelahiran Islam, sama-sama memiliki misi penyelamatan masa depan dunia. Dahulu, Islam datang menyelamatkan bangsa Arab dari degradasi peradaban dan kehidupan, menyelamatkan Roma dan Persia dari arogansi militerisme dan perang. Dan, kini untuk menyelamatkan dunia dari degradasi beradaban dan kehidupan manusia hampir dalam segala aspek.
Komentar Imam Shamsi Ali yang menekankan pada aspek akhlak itu memperkuat ide dasar buku karya Yusuf Effendi ini. Ada tiga syarat menuju kebangkitan Islam yang diajukan oleh Yusuf Effendi: kematangan berdemokrasi, kemuliaan akhlak, dan kecintaan pada ilmu.
Mengelaborasi tiga syarat kebangkitan itu, buku ini menyajikan tiga bagian utama. Bagian pertama mengulas sistem demokrasi ala empat sahabat Nabi, bagian kedua memotret masa kerajaan absolut, dan bagian ketiga formula menuju kebangkitan umat Islam. Ketiga bagian itu saling pilin-memilin, satu dengan yang lain tak dapat dipisahkan. Bagian pertama menjadi inspirasi, bagian kedua sebagai bahan introspeksi, dan bagian ketiga mengambil semangat bagian pertama dan mengambil pelajaran berharga dari bagian kedua.
Penulis buku ini percaya bahwa demokrasi itu selaras dengan Islam. Ia memberi bukti, bahwa empat pemimpin Islam pasca Nabi (khalifah rasyidah) menganut pola republik, karena mereka ditetapkan oleh dan berasal dari rakyat yang diwakili oleh tokoh. Selain itu, kebijakan khalifah ditetapkan melalui musyawarah. Demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi yang memiliki “batas” (hudud) berupa nilai-nilai agama. (hlm 39-40)
Basis demokrasi kala itu tak lain adalah akhlak para khalifah, mereka menerapkan nila-nilai agama. Abu Bakar menolak gelar “Khalifah Allah”, dan meluruskannya menjadi “Khalifah Rasul”. Berkat kearifan itu, Islam tidak terjerumus menjadi agama pembenar teokrasi. Dengan kemuliaan akhlak, khalifah rasyidah menjaga kesetaraan, yang membuat kebebasan berbicara dan berpendapat terjamin. Pada masa Khalifah Umar, demokrasi semakin kukuh karena adanya “check and balances” dengan memisahkan kewenangan peradilan dari kewenangan khalifah selaku eksekutif. Bahkan diletakkan pula dasar-dasar “good governance” dalam pengaturan tunjangan Negara. Khalifah Usman meneguhkan demokrasi dengan kegandrungannya terhadap dialog, kendati dapat mengancam keselamatan dirinya. Terakhir, Khalifah Ali memperkuatnya dengan keadilan sosial, karena menilai keadilan—di samping cinta kasih—adalah kebajikan utama Islam.
Setelah memutar-ulang kisah awal Islam dengan empat khalifah itu, buku ini lantas mengulas masa peralihan kekhilafahan ke era kerajaan. Dengan menerapkan tata-pemerintahan yang berbeda dengan empat khalifah, Umayyah dan Abbasiyah menganut sistem dinasti. Dengan sangat gamblang, penulis buku ini menyajikan gambaran kelam masa ini. Sejumlah peristiwa berdarah terjadi di antara keluarga istana, ada pula yang dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat.
Namun, selain sisi kelam, Yusuf Effendi juga mengulas sisi kemajuan umat Islam di masa itu. Pada masa Abbasiyah, kaum muslim mengalami kemajuan di bidang keilmuan. Para pemuka kaum Abbasiyah menempuh dua strategi. Pertama, rekayasa sosial, dengan menyebarkan paradigma kemuliaan dari khazanah Islam, seperti mencari ilmu maupun mendirikan sekolah; dan kedua, memfasilitasi kemudahan pembelajaran dengan mendirikan pabrik kertas, membangun rumah sakit, peneropongan bintang (observatorium), berbagai pusat kajian ilmu dan biro penerjemahan.
Adopsi ilmu dari budaya asing melandasi seluruh upaya tersebut sebelum dikembangkan sendiri oleh kaum Abbasiyah. Dengan cara itu, hanya dalam waktu dua generasi, kaum Abbasiyah sudah berhasil menjadi pusat kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan dunia, baik pada ilmu-ilmu murni maupun ilmu terapan.
Kaum Abbasiyah berhasil menghadirkan penemuan yang mengagumkan di bidang matematika, fisika, astronomi dan ilmu bumi, kedokteran, farmasi dan teknologi militer. Di bidang agama, kodifikasi hadis maupun rumusan ilmu kalam; sejarah dan lain-lain juga dituntaskan pada zaman ini. Namun, di bidang ilmu politik walaupun berhasil dirumuskan pemikiran cemerlang dari al-Mawardi dengan “Teori Kontrak Sosial” atau Ibnu Kaldun dengan “Teori Konstitusi”, namun keduanya tidak berhasil mengubah sistem kerajaan mutlak Abbasiyah. Zaman kemunduran Islam juga ditandai oleh kemunduran di bidang demokrasi dan akhlak, walaupun di bidang ilmu tidak mundur melainkan stagnan. Masa kemunduran itu dimulai terutama pada jaman Abbasiyah akhir, yaitu pasca penghancuran Baghdad oleh kaum Mongol.
Berkaca dari pengalaman panjang umat Islam, pada bagian terakhir buku ini, penulis menawarkan formula kebangkitan. Ia memaparkan strategi kebangkitan dengan terlebih dahulu mencatat bukti-bukti kemiskinan dan keterbelakangan umat Islam di seluruh dunia. Kemiskinan dan keterbelakangan yang relatif merata itu menurut Yusuf Effendi disebabkan oleh tiga hal. Pertama, terlantarnya keadilan sosial selama 1000 tahun masa kerajaan mutlak. Kedua, karena penjajahan bangsa Eropa yang telah merampas peran kaum Muslim sebagai pedagang antar Negara. Ketiga, kegagalan usaha kebangkitan pasca penjajahan karena tidak berhasil mengalahkan kekuatan sistem penjajahan modern di semua bidang.
Strategi Kebangkitan Islam
Yusuf Effendi memaparkan dua kemungkinan strategi: melalui perbaikan manusia atau “alatnya”. Pilihannya melalui perbaikan manusia yang paling utama adalah aspek akhlak. Di atas segalanya, akhlak atau ihsan adalah bagian dari agama, tepatnya sebagai pilar ketiga di samping pilar iman (akidah, tauhid) dan Islam yang di dalamnya ada syariat. Pilihan melalui “alatnya” yakni perbaikan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan. (hlm 396-400).
Karena kebangkitan adalah upaya budaya yang kompleks, maka perlu disederhanakan melalui pendekatan sistem (system approach). Dalam sistem itu, kebangkitan dianalogikan dengan “transformasi” melalui usaha politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan yang telah disinergikan dengan pengaruh global di bidang politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan dengan menggunakan “saringan akhlak dan ilmu” kemudian diperkuat oleh faktor-faktor positif (pengaruh internal) dari dunia kaum Muslim.
Jika umat melakukan semua itu dengan kesungguhan, dalam waktu 100-150 tahun (kaum Abbasiyah dalam 70 tahun), umat Islam dapat meraih kembali kejayaannya. Tetap dengan dalil demokrasi, akhlak, ilmu.
Selain kaya informasi sejarah, penyajian bergaya popular dan gaya tutur yang lugas menjadi keunggulan yang paling menonjol dari buku ini. Kita dapat mengetahui sejarah bagaimana dinamika pembentukan Dewan Pemilih Khalifah, ahlul-halli wal-‘aqdi pada masa Umar ibn Khattab. Kita juga dapat membaca kisah “petualangan” politik dan intelektual Ibnu Khaldun. Banyak narasi lain yang tidak sebatas kisah tapi diletakkan dalam konteks kekinian. Dari situ kita menyerap optimisme, bahwa Islam dapat bangkit menuju kemuliaan.
Judul Buku : Kebangkitan Kedua Umat Islam, Jalan Menuju Kemuliaan
Penulis : Yusuf Effendi
Penerbit: Noura Books (Mizan Grup)
Cetakan : I, Februari 2015
Halaman : lii + 557
ISBN : 978-602-0989-34-1
Peresensi: Banani Bahrul-Hassan, pecinta kajian hukum, demokrasi, dan keislaman