Publikasi laporan Programme for International Student Assesment (PISA) selalu memantik keprihatinan pendidik Indonesia. Yang terbaru, 3 Desember 2019 lalu, laporan PISA 2018 kembali menempatkan Indonesia di peringkat bawah dari 79 negara yang disurvei.
Secara umum, kemampuan membaca, siswa Indonesia ada di peringkat 74 (sebelumnya peringkat 64), kategori Matematika ada di peringkat 73 (sebelumnya 63), dan kategori kinerja sains ada di peringkat 71 (sebelumnya 62)
Selama ini assessment dalam PISA memang berbasis Higher Order Thinking Skilss (HOTS). Indonesia pernah mencoba memberikan soal kategori HOTS ada saat Ujian Nasional (UN) 2018 lalu. Hasilnya, siswa-siswa kesulitan karena memang dalam proses belajarnya belum terlatih dengan soal kategori HOTS.
Rupanya, taraf pendidikan yang diterima siswa selama ini lebih menitikberatkan pad amenghafal, memahami, dan mengaplikasikan. Ini merupakan level bawah dan masuk kategori Lower Order Thinking Skills ( LOTS).
Makin naik levelnya, siswa dituntut untuk bisa berpikir kritis, analitis, memecahkan masalah, dan melakukan evaluasi. Mayoritas siswa Indonesia, ternyata belum mencapai tahap tersebut. Itulah yang dilihat oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali dari pengalamannya yang telah mengabdi selama 35 tahun dalam bidang pendidikan.
Penggunaan Teknologi untuk Pendidikan
Rhenald mengatakan ketika teknologi bergerak begitu cepat dan mengubah berbagai lini kehidupan, ada bidang yang masih harus dibongkar sampai ke akarnya, yakni bidang pendidikan.
Padahal para pemangku kepentingannya selalu ingin melompat pada content-nya , apakah itu matematika, bahasa, science, dan fisika. Padahal di balik itu semua ada kecerdasan mendasar yang masih harus dibangun guru untuk memudahkan tahap berikutnya dalam menerima ilmu-ilmu canggih itu.
“Kami menaruh perhatian dalam pendidikan anak usia dini. Inilah fase paling krusial dalam pendidikan.” Katanya saat peluncuran buku SENTRA: Inspiring School , Membangun Kecerdasan dan Kemampuan Anak Sejak Usia Dini, Demi Masa Depan yang Cemerlang yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan dan Penerbit Exposè di Jakarta 13 Desember 2019
Menurut Rhenald, untuk menaikkan level pengetahuan siswa, tidak bisa dilakukan secara instan. Untuk membangun daya analitis, critical thinking, dan problem solving, tidak bisa hanya dilakukan melalui uji coba dan les bimbingan belajar sebelum ujian dilakukan. “Untuk membangun kemampuan itu, butuh waktu panjang dan harus dilakukan sejak usia dini.” Jelasnya.
Sekolah harus Inspiring dan Menyenangkan
Bersama dengan istrinya Elisa, Rhenald Kasali mendirikan PAUD dan TK yang diberi nama Kutilang di komplek Rumah Perubahan, Bekasi. Sekolah untuk anak usia dini bagi anak-anak di wilayah perkampungan padat Bekasi .
Awalnya proses belajar-mengajar dilakukan layaknya di sekolah biasa. Tapi setelah pendidikan berjalan, Rhenald dan Elisa menyadari ada sesuatu yang kurang tepat. Tatanan ekonomi dan bisnis berubah dengan cepat, masa depan yang akan dihadapi anak-anak juga akan jauh lebih menantang. Tetapi mengapa sistem pendidikan anak masih seperti cara konvensional yang dijalankan beberapa puluh tahun silam?
Karena itulah, eksplorasi dan riset terus dilakukan. Dalam proses tersebut, Rhenald dan Elisa bertemu dengan Wismiarti Tamin, seorang praktisi pendidikan dan pendiri Sekolah Al-Falah di Jakarta timur. Wismiarti adalah sosok yang membawa dan mengenalkan Metode Sentra di Indonesia.
Dia dan guru-guru Sekolah Al-Falah belajar langsung dari Dr.Pamela Phelps, tokoh pendidikan asal Amerika Serikat, yang mendesain Beyond Centers and Circle Time (BCCT), metode pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama Sentra. Dari sinilah buku SENTRA mendapatkan inspirasinya.
Konsep Metode Sentra adalah non-direct teaching. Jadi, proses belajar dilakukan melalui aktivitas main yang didesain untuk menstimulasi perkembangan otak anak. Intinya, pendidikan anak diantarkan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga anak bisa belajar dengan optimal. “Kami merasa, inilah metode yang tepat untuk mendidik anak. Sebab, pendididikan seharusnya menyenangkan, bukan membuat anak stress dan terbebani.” Jelas Rhenald Kasali.
Dalam Metode Sentra, proses belajar disesuaikan dengan tahap perkembangan setiap anak. Tujuannya agar dapat mengembangkan semua titik kecerdasan (multiple intelligence) dan ketrampilan hidup anak (essential life skills). Kecerdasan dan skill itulah yang akan membangun pondasi karakter dan menjadi bekal anak dalam mengarungi masa depan.
Metode Sentra Melatih Anak dengan Peran Kehidupan
Salah satu fenomena pendidikan di Indonesia menurut Rhenald Kasali adalah penitikberatan pada content. Misalnya, ketika skor Matematika dianggap kurang bagus, maka ditambahlah waktu belajar Matematika.
Demikian pula ketika nilai-nilai luhur Pancasila dianggap mulai luntur, diperbanyaklah pelajaran agar murid-murid hafal sila dan butir Pancasila. “Padahal, yang mesti diperkuat adalah pondasi dan karakter sejak usia dini.” Jelasnya.
Dalam Metode Sentra , ada permainan peran, yakni bermain peran besar dan bermain peran kecil. Kelihatannya sederhana, anak-anak bermain menjalankan peran berbagai profesi seperti dokter, guru, pemadam kebakaran, maupun orangtua.
Padahal jika diarahkan dan didesain dengan benar, permainan peran ini tidak hanya bisa melatih daya kreativitas dan intelektualitas siswa, tetapi juga melatih siswa untuk menjalani perannya nanti dalam kehidupannya. “Kuncinya adalah membangun karakter anak.” Jelas Rhenald.
Dengan bermain peran, anak belajar bagaimana berkomunikasi , berinteraksi, saling menghargai, memeupuk empati, bertoleransi, menekan ego, belajar berpikir kritis, menganalisa, dan memecahkan masalah yang dihadapi, hingga belajar mencapai tujuan bersama melalui kolaborasi.
Ini adalah dasar-dasar yang membentuk seseorang. Jika nilai-nilai dasar itu tidak diajarkan sejak dini, anak-anak bisa tumbuh menjadi remaja yang cenderung kasar. Setiap menghadapi permasalah, tidak diselesaikan dengan cara komunikasi penuh empati dan kreatif mencari solusi, tapi dengan ego tinggi.
Saat umurnay bertambah , sosok itu berpotensi menjadi manusia yang tak menghargai toleransi, egonya tinggi, ingin mencapai tujuan dengan instan, mudah terpengaruh dan ikut menyebarkan hoax karena daya nalarnya lemah.
“Tentu, kita tidak ingin anak-anak kita melalui masa kecilnya tanpa diisi dengan nilai-nilai dasar yang menjadi bekal berharga dalam hidupnya. Tentu, kita tidak ingin anak remaja kita tumbuh menjadi sosok kasar dan terjerat narkoba. Tentu kita tidak ingin anak-anak kita menjadi orang dewasa yang intoleran, ingin menang sendiri, dan tidak mandiri.” Urainya.
Karena itulah, Rhenald Kasali menyerukan gelombang perubahan digerakkan untuk mereformasi dunia pendidikan di Indonesia. Skor PISA yang rendah tak bisa diatasi dengan cara-cara instant. Butuh perbaikan mendasar dalam proses belajar mengajar.
“Perbaikan harus dimulai dari pendidikan usia dini. Sebab, inilah fase paling krusial dalam pembentukan pondasi karakter yang akan menentukan sosok manusia seperti apa yang akan dilahirkan oleh sistem pendidikan kita,” tutup Rhenald Kasali.