Salah satu kekurangan yang jelas terlihat dalam pendidikan di Indonesia adalah lalu lintas komunikasi satu arah. Aneka bentuk pendidikan budi pekerti diberikan terfragmentasi dalam bentuk pelajaran khusus, tanpa diupayakan integrasinya ke dalam keseluruhan mata pelajaran dan pembelajaran. Pendidikan melalui suatu sudut kurikulum ini pun diringkas ke dalam formula ”menu siap saji”, berupa rangkaian paket jadi yang memberi siswa sedikit pilihan dan menumpulkan kapasitas moral judgement-nya.
Kelemahan Pendidikan Indonesia
Guru juga cenderung mendedahkan prinsip-prinsip moral umum secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan mengajukan pengalaman empiriknya. Pengajaran moral/budi pekerti dilakukan secara terisolasi dengan tidak memberikan wahana kepada siswa suatu pengalaman terstruktur untuk menghubungkan moral judgment dan moral situations yang dihadapinya.
Dengan kelemahan nyata pada pendidikan karakter itu, bangsa ini menghadapi masalah besar: bangsa korup dengan moralitas yang lembek. Orang-orang harus dibangunkan. Kesadaran harus dihidupkan. Kejatuhan politik cuma kehilangan penguasa; kejatuhan ekonomi cuma kehilangan sesuatu. Akan tetapi, kalau kejatuhan karakter, suatu bangsa kehilangan segalanya. Saatnya memperhatikan dan memperbaiki pendidikan karakter.
Pendidikan karakter sering kali diintroduksikan ke dalam kelas lewat medium kesusastraan dan studi kepahlawanan. Siswa memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri para pahlawan itu. Studi seperti itu hanyalah bagian dari keseluruhan pendidikan karakter yang ditransformasikan menjadi etos komunitas sekolah. Pada intinya, untuk menanamkan nilai-nilai dasar, siswa harus bisa menemukan teladan yang baik dalam semua aspek kehidupan sekolah.
Dalam pendidikan karakter, komunitas sekolah mengidentifikasi nilai-nilai inti sekolah dan pekerjaan untuk mendidik dan meneguhkan nilai-nilai bersama dalam kehidupan siswa. Konsensus mesti dicapai untuk mengembangkan visi bersama tentang sifat-sifat karakter yang harus dipelihara. Sifat-sifat karakter ini harus merembesi lingkungan belajar siswa baik dalam kelas, jalan masuk, gimnasium, kafetaria, lapangan olahraga, maupun tempat-tempat lainnya. Sifat-sifat karakter merupakan bagian dari tatanan komunitas secara keseluruhan dan pemangku kepentingan (stakeholders) menyusun model dari perilaku yang diharapkan.
Thomas Lickona dalam buku terkenalnya, Educating for Character (1991), menegaskan bahwa tatkala kita berpikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakininya benar—bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. Oleh karena itulah pentinglah untuk menunjukkan karakter yang tepat bagi anak-anak.
Melalui buku Mata Air Keteladanan, pernah ditekankan bahwa bangsa ini memerlukan contoh teladan dari tokoh-tokoh Indonesia, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal. Tokoh teladan ini bisa menjadi contoh bagaimana karakter mereka yang menebarkan kebaikan, penuh disiplin dan kasih sayang kepada sesama. Sebut saja, Bung Hatta, dengan karakternya yang sederhana dan disiplin.
Kejatuhan politik cuma kehilangan penguasa; kejatuhan ekonomi cuma kehilangan sesuatu. Akan tetapi, kalau kejatuhan karakter, suatu bangsa kehilangan segalanya. Saatnya memperhatikan dan memperbaiki pendidikan karakter.