Disrupsi benar-benar menyerang dari segala sisi, di segala sektor. Termasuk sektor pertambangan, yang pada awal munculnya istilah disrupsi diperkirakan tidak terlampau rentan gangguan karena ia tak begitu lekat dengan digitalisasi teknologi.
Namun, tampaknya kita salah. Karena teori disrupsi ini justru dimulai dari dunia nondigital. Pada 1977, perusahaan besi baja skala besar Bethlehem Steel runtuh; dihajar pabrik-pabrik besi baja mini yang hanya memakai baja rongsokan (scrap) sebagai bahan bakunya. Armada transportasi besar juga mulai dihajar armada low cost carrier di era itu. Apakah mereka tidak berinovasi? Tidak. Mereka sudah berinovasi. Namun, yang dilakukan adalah inovasi “biasa-biasa” saja. Menggunakan cara-cara lama. Sekadar melakukan continuous improvement .
Belum sampai pada disruptive innovation berupa keberanian mengubah platform bisnis dan teknologinya. Padahal yang sangat dibutuhkan perusahaan adalah keberanian berubah secara signifikan sekaligus fundamental. Lebih ekstrem lagi, ada tuntutan disebut self disruption. Mendisrupsi diri sendiri tanpa harus menunggu terdisrupsi karena memang pilihannya adalah be disruptive, or you will be disrupted . Tema inilah yang kali ini diangkat pakar manajemen Rhenald Kasali dalam buku terbarunya, Self Disruption . Buku yang dimasukkan dalam kategori series on disruption ini membahas tentang fenomena self disruption di industri “nondigital” tersebut, wabil khusus di industri batu bara, dengan PT Adaro Energy Tbk sebagai contoh suksesnya.
Sinyal Lembut Disrupsi
Self disruption adalah disrupsi “aktif” yang dilakukan dengan kesadaran bahwa sebuah perusahaan harus terus bertransformasi tanpa harus menunggu sang gangguan hadir secara nyata di depan mata. Karena sesungguhnya, hadirnya kekacauan baru (disrupsi) dalam bisnis apa pun hanya masalah waktu. Cepat atau lambat ia akan datang. Salah satu faktor kunci kesuksesan self disruption ada pada keberadaan pemimpin perusahaan yang sadar akan pentingnya perubahan dan mampu menangkap sinyal-sinyal lembut kehadiran disrupsi.
Sinyal lembut inilah tidak semua pemimpin bisa menyadarinya. Padahal sinyal lembut ini tidak hanya muncul dari sisi eksternal, tapi justru sering justru muncul dari sisi internal. Panjangnya tahapan proses dalam satu departemen jika dibandingkan dengan kompetitor, ketiadaan program pemacu inovasi karena merasa produknya sudah dikenal lama dan menduduki pangsa pasar yang meski bukan nomor satu, kebanggaan atas kesuksesan masa lalu yang berlebihan, minimnya ide inovasi yang tereksekusi, ketiadaan teladan dari manajemen ketika terjadi suatu masalah mengharuskan seluruh elemen perusahaan bergerak bersama dalam satu misi dan strategi, semua itu adalah sinyal-sinyal lembut yang hanya bisa dirasakan pemimpin yang “sadar disrupsi”. Mengapa?
Karena semua itu terjadi di tengah zona nyaman cenderung melenakan. Sementara di luar sana, banyak percepatan gerakan dan inovasi yang dilakukan pesaing akibat pesatnya kesadaran kompetisi dan teknologi. Maka itu, kita semua butuh disruptive leader. Pemimpin yang sadar akan bahaya disrupsi dan berani melakukan perubahan ke arah lebih baik. Rhenald mengutip lima ciri pemimpin disruptif yang dikemukakan Faisal Hoque. Ia adalah pendiri Shadoka, sebuah perusahaan pemberdayaan masyarakat berbasis digital. Ciri pertama, tak lelah memburu kebenaran, meski kadang menyakitkan.
Sikap ini akan mendorong adanya pengambilan keputusan yang baik. Kedua , sanggup memandu orang lain melewati kekacauan (chaos) dengan kepemimpinannya yang tenang, terarah, menyadarkan, dan selalu melibatkan tim. Ketiga , berani memutuskan, termasuk dengan kemampuan intuitifnya. Ini terkait dengan terlambat atau tidaknya perusahaan bergerak. Keempat , selalu bisa move on dari aturan-aturan lama yang dinilai sudah tidak relevan dan menghambat kemajuan perusahaan. Kelima , tumbuh dan berkembang bersama ketidakpastian. Bagi seorang disruptive leader , kondisi “normal” sejatinya tidak ada. Baginya, sesuatu yang normal bisa dengan cepat berubah menjadi usang atau ketinggalan jaman (hal 94-95 ). Adaro dianggap sebagai perusahaan yang beruntung karena memiliki jajaran pemimpin yang “sadar disrupsi”.
Disrupsi Industri Batu Bara
Semula para pelaku industri batu bara tidak terlampau mengkhawatirkan kehadiran gelombang disrupsi, terutama di Amerika Serikat. Namun ternyata, berbagai permasalahan menjadi faktor yang mendisrupsi industri “seksi” ini. Pertama , berkembangnya teknologi hydraulic fracturing atau fracking . Dengan teknologi ini, perusahaan-perusahaan minyak dan gas di AS mampu mengeksplorasi cadangan energi yang tersembunyi di sela-sela atau ter pe rangkap di dalam bebatuan serpih menjadi shale oil dan shale gas yang secara volume masih sangat besar. Presiden AS saat itu Barack Obama bahkan mengatakan, pasokan migas AS akan aman hingga seratusan tahun ke depan dengan eksplorasi ini.
Ketika AS tak lagi tergantung pada pasokan migas dari negara-negara Timur Tengah, maka harga migas dunia langsung melorot. Kedua , sudah harganya terjun bebas, volume permintaannya pun anjlok drastis. Jika sampai tahun 2000-an masih sekitar 50% tenaga listrik AS energinya dipasok dari pembangkit bertenaga batu bara, maka saat ini pembangkit batu bara hanya memasok sekitar 30% dari total kebutuhan listrik di AS. Ketiga , harga energi baru dan terbarukan yang semakin murah. Teknologi panel surya semakin maju dan lebih murah hingga 80% dibandingkan 2009. Alternatif bahan bakar pun semakin banyak.
Keempat , semakin banyak bangunan dan fasilitas lain di dunia ini yang dirancang hemat energi. Akibatnya, penjualan tenaga listrik di AS menjadi flat . Kelima, pertumbuhan ekonomi dunia yang melemah. Dampaknya ada pada berkurangnya kebutuhan industri. Ekspor batu bara pun ikut menurun (hal 23-24). Kombinasi kelima faktor itulah membuat harga batu bara dunia terus anjlok. Sebuah perusahaan besar batu bara Peabody Energy pun mengumumkan kebangkrutannya, meskipun sebelumnya, mereka sudah mencoba melakukan efisiensi dengan memangkas ribuan karyawannya dan memotong 15 jabatan struktural di organisasinya. Bagaimana di Indonesia? Sama. Sejak terjadi penurunan harga, hampir semua tambang besar dan kecil terkena dampaknya.
Sudah ratusan tambang ditinggal pemiliknya. Kondisi ini juga berdampak negatif bagi bisnis penjualan dan penyewaan alat-alat berat sebagai pendukung industri batu bara. Pada 2015, ada 125 perusahaan tambang batu bara tutup, hanya di wilayah Kalimantan Timur! Mengenaskan sehingga tak terlampau salah bila para pengamat ekonomi menyebut industri batu bara sebagai sunset industry . Kesadaran untuk mengantisipasi hal inilah membuat Adaro bergerak. Hasilnya, pada 2016 karena kondisi industri batu bara sudah tidak begitu menggembirakan, Cost of Revenue Adaro Energy turun lebih dari 14%, lebih besar ketimbang turunnya pendapatan. Dengan begitu, laba kotor Adaro meningkat dan laba bersih 2016 bisa naik 119,5% dibanding 2015 menjadi Rp4,35 triliun.
Pertanyaan singkatnya: Bagaimana bisa? Sementara perusahaan batu bara lain jatuh sakit, Adaro malah segar bugar. Karena itu, pembahasan selanjutnya adalah uraian Rhenald mengenai kunci keberhasilan Adaro dalam menghadapi gangguan-gangguan era disruptif saat ini. Demi melihat sinyal-sinyal yang kurang menggembirakan dalam bisnis batu bara, Adaro segera berbenah melakukan transformasi. Sebagai contoh, jika dulu Adaro fokus sebagai coal company , hari ini mereka menyebut perusahaannya sebagai energy company. Bukan sekadar batu bara, melainkan energi. Lalu, jika dulu aktivitas Adaro lebih sebagai mining company, maka kini berubah menjadi lebih luas, pit to port to power .
Mendisrupsi Pilar Bisnis
Jadi, jika dulu Adaro hanya memiliki satu pilar bisnis, yakni pertambangan, maka kini Adaro menjadi pemilik tiga pilar bisnis: tambang, logistik-servis, dan energi. One pillar menjadi three pillars. Pada perkembangannya, Adaro terus mengevaluasi transformasi ini sembari mengikuti perkembangan makronya. Hasilnya, dalam periode berikutnya, Adaro memutuskan untuk mengubah sekaligus memperluas kembali pilar-pilar bisnisnya, kendati konsep tiga pilar masih menunjukkan pertumbuhan baik. Maka itu, Adaro mantap melakukan self disruption untuk kedua kalinya. Mereka menambah pilar-pilar bisnisnya dari tiga menjadi delapan.
Tiga pilar awal dipecah menjadi empat: tambang, logistik, services, dan energi. Pilar kelimanya adalah penanganan aset, termasuk lahan-lahan tak terpakai sekaligus pembukaan bisnis baru di atasnya. Pilar keenamnya adalah pengolahan air baku menjadi air layak konsumsi sampai ke pengolahan air limbah. Pilar ketujuhnya adalah pengelolaan investasi. Pilar terakhirnya adalah pengelolaan bidang ekonomi lokal, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, dan lingkungan. Hasilnya luar biasa, bisa dili hat dari angka kinerja periode ter akhir nya. Satu “rahasia” penting lain dari kesuksesan Adaro dalam melakukan self disruption di mata Rhenald adalah penggunaan kerangka berpikir Operational Excellence (OpEx) secara ber kelanjutan.
Kerangka pikir OpEx ini meliputi end to end thinking, dont blame the people-but blame the process, there is no best process, but better process, donít hide the problem-because the problem is opportunity. Kerangka pikir ini menuntut pemahaman yang detail akan setiap mata rantai proses bisnis manufaktur sehingga perusahaan bisa memastikan bahwa seluruh mata rantai berkinerja terbaik. Menarik.