Masyarakat Indonesia saat ini mudah sekali termakan isu dan berita yang belum jelas kebenarannya. Isu-isu berseliweran seiring memanasnya hawa politik jelang pemilu, mewarnai naiknya nilai rupiah, dan membumbui peristiwa lainnya. Ironisnya isu-isu tersebut acapkali menunjukkan telah terjadi krisis nilai.
Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan kegagalan sosialisasi nilai-nilai Pancasila sebagai karakter bangsa. Nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya efektif memandu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila jutaan anak-anak Indonesia lebih tertarik pada ideologi-ideologi lain ketimbang Pancasila, pertanda ada yang salah dalam cara kita mempromosikan dan mengamalkan Pancasila.
Jika Pancasila benar-benar dikehendaki kesaktiannya, Pancasila harus menjadi praksis ideologis yang memiliki kekuatan riil dalam melakukan perombakan mendasar pada ranah material-mental-political sebagai katalis bagi perwujudan cita-cita nasional. Untuk bisa membudayakan Pancasila, bangsa Indonesia harus memiliki tiga kesaktian (Trisakti) di tiga ranah perubahan sosial: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Transformasi mental–kultural diarahkan agar bangsa Indonesia bisa berkepribadian dalam kebudayaan, dengan mewujudkan masyarakat religius yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah, dan terbebas dari berhala materialisme-hedonisme; serta sanggup menjalin persatuan (gotong royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan). Pijakan dasarnya terutama prinsip-prinsip yang terkandung pada sila kesatu, dua, dan tiga. Masihkan ingat apa isi dari sila-sila tersebut?
Transformasi politik diarahkan agar bangsa Indonesia bisa berdaulat dalam politik, dengan mewujudkan agen perubahan politik dalam bentuk integrasi kekuatan nasional melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan); dengan pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan. Pijakan dasarnya terutama prinsip-prinsip yang terkandung pada sila keempat.
Transformasi materiel (ekonomi) diarahkan agar bangsa Indonesia bisa berdikari (mandiri) dalam ekonomi, dengan mewujudkan perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong royong) dan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting—yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial. Pijakan dasarnya terutama prinsip-prinsip yang terkandung pada sila kelima.
Ketiga ranah transformasi sosial berdasarkan Pancasila tersebut bisa dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan. Satu sama lain saling memerlukan pertautan secara sinergis. Ketiganya secara sendiri-sendiri maupun secara simultan, diarahkan untuk mencapai tujuan nasional berlandaskan Pancasila: mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (materiel dan spiritual), serta berlandaskan Pancasila.
Energi nasional kita harus diarahkan untuk memenangi masa depan, bukan untuk mengutuk masa lalu, dengan membudayakan Pancasila di tiga ranah tersebut.
Untuk itu, pertama-tama kita harus berusaha melakukan reaktualisasi dan revitalisasi pemahaman terhadap wawasan dasar ideologi Pancasila, yang berisi konsepsi-konsepsi pokok dalam memahami Pancasila. Kedua, kita harus memahami wawasan kritik ideologi Pancasila terhadap dinamika perkembangan global berikut implikasi-implikasi ideologisnya, seraya menunjukkan antisipasi dan respons Pancasila atas problem-problem kemanusiaan kontemporer. Ketiga, kita harus mengembangkan strategi pembudayaan Pancasila yang lebih adekuat dan responsif terhadap persoalan publik dan tantangan zaman.
Semua rangkaian usaha pembudayaan tersebut memerlukan pendekatan sosialisasi Pancasila secara lebih kreatif dan holistis meliputi dimensi kognitif, afektif, dan konatif, yang dapat memengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam kaitan ini, hendaklah diingat bahwa Pancasila bukan hanya dasar statis, melainkan juga bintang penuntun yang dinamis—yang mesti responsif terhadap dinamika sosial dan global. Untuk itu, Pancasila senantiasa terbuka bagi pengisian dan penafsiran baru, serta pendekatan dan metodologi terkini dengan syarat memperhatikan semangat dasar yang terkandung di dalamnya serta kesalingterkaitan antarsila. Maknanya, keterbukaan dalam pengisian, penafsiran, serta pendekatan dan metodologi alternatif terhadap Pancasila itu dibatasi prinsip-prinsip pokoknya dan keharusan untuk menjaga koherensinya dengan sila-sila yang lain.