Yudi Latif menyatakan Indonesia tidak kekurangan orang pintar, namun bangsa ini masih menghadapi banyak tantangan untuk menjadi negara maju. Salah satu syarat mewujudkan negara maju, diantaranya tumbuhnya kesadaran kolektif dalam sebuah bangsa. Hal itu disampaikan dalam Bedah Buku karyanya yang berjudul “Wawasan Pancasila”, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan (ADPK), di Kampus STKIP Kusuma Negara, Cijantung, Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Bedah Buku Wawasan Pancasila
Dalam dialognya dengan tiga penanggap buku yaitu Dr. Herinto Sidik M.Si, Dr. Sri Rahayu Pudjiastuti dan Kol.(Purn) Drs. Djunaedi MM tersebut, Yudi menyampaikan bahwa Pancasila adalah bintang penuntun kehidupan bangsa. “Bintang yang akan terus terlihat bila keadaan gelap. Yang perlu dibangun oleh bangsa indonesia di tengah berbagai persoalan bangsa adalah kemampuan untuk membentuk kecerdasan kolektif,” kata Yudi.
“Kecerdasan kolektif merupakan kemampuan untuk menghargai perbedaan dan kesediaan bekerjasama antar warga negara.”
Yudi memberi ilustrasi bagaimana bangsa ini menghadapi kendala dalam kerjasama dan koordinasi. Dalam Asian Games 2018 yang baru usai, perolehan medali Indonesia didominasi oleh cabang-cabang olah raga individual, seperti pencak silat, bulu tangkis dan panjat tebing. “Di sisi lain, kita sulit meraih prestasi pada cabang yang mengandalkan kerjasama tim, seperti sepakbola. Ini menunjukkan bangsa kita kurang memiliki kecerdasan kolektif untuk melangkah bersama,” imbuhnya.
Lebih jauh, dalam upaya mewujudkan pendidikan yang lebih baik di masa depan guna mendorong munculnya kecerdasan kolektif bangsa, Yudi mengutip empat elemen pendidikan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, disingkat (UNESCO), yaitu learning to be, learning to know, learning to do dan learning to live together.
“Pendidikan sejatinya tidak hanya sekedar proses untuk tahu. Tetapi, seperti yang disampaikan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan hakikatnya untuk menjadikan kita menjadi manusia seutuhnya. Itu yang selama 20 tahun reformasi kita lupakan,” terang Yudi.
Terkait masa depan reformasi, Ketua ADPK, Dra. Sudarilah MM., juga memberi catatan dan keprihatinan. Di matanya, apa yang terlihat saat ini dalam persaingan antar kelompok menuju pemilu 2019 sangat mengkhawatirkan terhadap kohesi sosial kita sebagai bangsa. Jika situasi seperti ini terus berlangsung, maka dikhawatirkan akan akan mengikis nilai-nilai Pancasila.
“Oleh karenanya, ADPK sebagai wadah pengampu mata ajar Pancasila di Perguruan tinggi mengharapkan agar semua kelompok dalam bersaing tetap menjaga kerukunan dan menghargai perbedaan,” katanya. Sudarilah menambahkan, dalam situasi demikian, ADPK hadir untuk terus berkontribusi dalam menanamkan dan menjaga semangat persaudaraan dan kebangsaan.
Acara yang dimoderatori RR Endang Sulasih MH., ini mendapat sambutan luas dari pengurus ADPK se-Indonesia. Tak kurang 100 perwakilan dosen hadir dari berbagai universitas di berbagai provinsi. (jaa)