Kota-kota di Indonesia mau dibawa ke mana? Akankah mereka kita biarkan menghadapi masalahnya sendiri dan tumbuh tanpa kejelasan seperti apa kota maupun sistem perkotaan kita di masa datang?
Sebagian akan “tenggelam”, sebagian lain mungkin akan “ditinggalkan” karena warga memilih hidup di tempat yang lebih segar dan nyaman. Toh kemajuan teknologi memungkinkan kita bekerja atau belajar dari mana saja.
Ataukah kita perlu seperangkat kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan yang lebih koheren secara nasional di mana pemerintah pusat dan pemda secara bersama-sama maupun berbagi tugas menghadapi semua tantangan dan memanfaatkan segala potensi sehingga transformasi urbanisasi yang sedang kita alami bisa menyejahterakan seluruh masyarakat?
Indonesia sedang mengalami proses menjadi negara urban. BPS mencatat hanya 15 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada 1950. Angka itu terus naik menjadi 30 persen pada 1990 dan 56 persen sekarang. Sebelum pandemi Covid-19, Bappenas memperkirakan 73 persen dari total 319 juta penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan ketika negeri ini memperingati 100 tahun kemerdekaan nanti.
Bayangkan! Penambahan penduduk perkotaan Indonesia antara sekarang hingga 2045 itu setara dengan delapan kota sebesar Jakarta yang saat ini berpenduduk resmi sekitar 10 juta jiwa. Peningkatan proporsi penduduk urban ini tak hanya akibat migrasi dari desa ke kota, tetapi belakangan justru lebih banyak karena reklasifikasi guna-lahan dari kawasan perdesaan menjadi perkotaan.
Setelah pandemi, kita belum tahu persis apakah proses urbanisasi ini masih akan terus berlangsung cepat seperti diperkirakan atau melambat atau bahkan menyurut akibat semakin banyak warga kota yang memilih bekerja dari jauh.
Namun UN-Habitat, lembaga PBB yang khusus menangani masalah permukiman dan perkotaan, dalam Laporan Kota-Kota Dunia 2020 yang berjudul The Value of Sustainable Urbanization, meyakini tak akan terjadi “deurbanisasi”. Kota-kota akan terus tumbuh.
Dua Sisi Perkotaan
Bak sebuah koin, kota dan kawasan perkotaan memiliki dua sisi yang selalu koeksis: masalah dan potensi. Sering kali kita terpaku pada permasalahan seperti kemacetan kronis, kesemrawutan, polusi udara dan sungai, banjir tahunan, ketimpangan sosial-ekonomi, ketiadaan permukiman orang miskin yang layak huni dan dekat sumber penghasilan, sanitasi yang buruk, sampah tidak tertangani, pelayanan umum yang buruk dan lain-lain.
Permasalahan pun tak hanya yang ada di dalam batas wilayah karena kota umumnya menyedot sumber daya alam dari tempat yang jauh dan membuang limbahnya ke wilayah sekitar.
Belakangan muncul isu yang sudah lama disuarakan oleh para ahli, namun baru ramai dibicarakan publik setelah Presiden AS Joe Biden menyebut Jakarta akan “tenggelam” dalam satu dekade mendatang.
Sebenarnya bukan hanya (bagian) Jakarta saja yang terancam tenggelam. Bagian-bagian kota-kota pesisir pada umumnya, dan sepanjang pantai utara Jawa, khususnya, juga menghadapi ancaman yang sama. Bahkan sebagian sudah mengalaminya. Penyebabnya adalah kenaikan muka air laut yang disebabkan pemanasan global, banjir rob serta penurunan tanah (land subsidence) yang disebabkan oleh berbagai faktor termasuk ulah manusia.
Indonesia dapat dikatakan tertinggal dari negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara pada umumnya dalam memanfaatkan fenomena urbanisasi
Di samping itu, terdapat pula persoalan ketimpangan pembangunan regional. Pembangunan di Indonesia selama 76 tahun kemerdekaannya masih sangat terkonsentrasi di Jawa dan Bali meski pemerintahan Presiden Jokowi telah memberi perhatian sangat besar pembangunan di luar Jawa, termasuk daerah-daerah “3T” (terdepan, terpencil dan tertinggal).
Pemerintah saat ini juga terus mendorong pembangunan jalan tol di luar Jawa, walau kelayakan bisnis-finansialnya diragukan, dengan harapan akan membangkitkan ekonomi wilayah. Namun tanpa kebijakan perkotaan nasional yang konsisten, pada saat yang sama kita juga menyaksikan pembangunan kawasan-kawasan industri baru yang masih berlokasi di pulau Jawa.
Keputusan pemindahan ibukota negara ke luar Jawa, yang juga disitir Biden sebagai reaksi terhadap ancaman tenggelamnya Jakarta, sebenarnya lebih diposisikan sebagai bagian dari upaya mendorong pemerataan pembangunan wilayah. Meski demikian, penulis beranggapan upaya ini saja tak akan memadai untuk mendorong pertumbuhan di luar Jawa-Bali jika tak disertai strategi yang lebih jelas dan koheren.
Belum lagi bicara ketimpangan desa-kota. Sekadar membuka akses ke wilayah terpencil saja tak cukup jika tak disertai pemberdayaan masyarakat di wilayah itu. Salah-salah sumber daya malah tersedot ke kota.
Di balik berbagai masalah itu, kota juga memiliki potensi bagi perbaikan kualitas hidup manusia. Kita semua tahu bahwa inovasi, bahkan peradaban, umumnya tumbuh dari kota. Ini bukan tanpa alasan karena keunikan ruang dan masyarakat perkotaan dapat menciptakan apa yang disebut sosiolog-urbanis Manuel Castells sebagai “milieu of innovation” (1996).
Di samping itu, banyak studi lain yang menunjukkan korelasi yang kuat antara urbanisasi atau pertumbuhan kota dan pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan, bahkan pengentasan kemiskinan (antara lain Glaeser 2011, Roberts et al 2019, UN-Habitat 2020). Joan Clos, mantan walikota Barcelona yang juga mantan direktur eksekutif UN-Habitat, dalam webinar baru-baru ini merujuk hal ini sebagai “the economics of proximity”.
Indonesia dapat dikatakan tertinggal dari negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara pada umumnya dalam memanfaatkan fenomena urbanisasi yang tak terhindari ini.
Data Bank Dunia menunjukkan, dalam kurun 1996-2016, setiap kenaikan satu persen tingkat urbanisasi di Indonesia hanya berkorelasi dengan kenaikan PDB per kapita sebesar 1,4 persen. Sementara rata-rata negara-negara Asia-Pasifik 2,7 persen dan China 3,0 persen.
Di samping manfaat ekonomi, kota juga dapat memberi manfaat lingkungan dan sosial jika direncanakan, dirancang, dibangun dan dikelola dengan benar dan baik. Dengan jumlah penduduk yang sama, permukiman yang bersifat kompak- terencana akan lebih sedikit mengubah bentang alam dibanding permukiman yang merebak (sprawling) yang sering kali menghilangkan lahan subur bahkan hutan lindung.
Dari sisi pendidikan, kota membuka peluang pengembangan keahlian hingga terspesialisasi. Masih banyak banyak lagi sisi positif lain urbanisasi.
Perbandingan Internasional
China contoh yang paling berhasil menggunakan urbanisasi atau pembangunan kota untuk pertumbuhan ekonomi (urban-led development). Dengan menggunakan pembangunan perkotaan yang terencana, terintegrasi, bertahap tapi konsisten serta dikaitkan dengan strategi industrialisasinya, China tak saja berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mampu mengatasi kemiskinan ekstrem yang dihadapi penduduknya. Tak kurang dari 600 juta penduduk terlepas dari jeratan kemiskinan empat dasawarsa terakhir.
UN-Habitat juga banyak mempromosikan perlunya “national urban policy” (NUP) atau kebijakan perkotaan nasional (KPN) ke negara-negara anggota. Dari 150 negara yang dikaji pada 2018, lebih dari separuh (76) sudah secara eksplisit memiliki NUP. Sisanya memiliki kebijakan perkotaan yang implisit dalam kebijakan pembangunan secara umum.
Berbagai organisasi global atau multilateral lain juga aktif mendorong bahkan membantu pembuatan kebijakan perkotaan nasional, baik di negara berkembang maupun negara maju. Pertimbangan mereka, dunia sudah semakin menjadi kota, sehingga pewujudan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) memerlukan kebijakan perkotaan pada tingkat nasional dan lokal yang tepat.
Baca Juga Kota Untuk Semua Selaras SDGs
Pengalaman berbagai negara itu jadi bukti empiris bahwa adanya kebijakan perkotaan nasional yang terkonsolidasi tak hanya mampu mendorong kota-kota lebih layak huni, tapi juga meningkatkan kemakmuran rakyat kota bahkan hingga desa dan mewujudkan lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Keberadaan KPN yang efektif semakin dirasa urgen jika kita mempertimbangkan sempitnya jendela peluang bonus demografi, yaitu antara 2020- 2035 dengan rasio ketergantungan terendah diperkirakan terjadi pada 2030. Jika kita gagal memanfaatkannya, maka yang timbul justru beban demografi. Dalam hal ini kota punya peran sangat penting karena, antara lain, mampu menawarkan jumlah dan keragaman lapangan kerja yang lebih besar dibanding kawasan non-perkotaan.
Kota juga punya peran penting lain seperti pada pemanfaatan kemajuan teknologi (smart cities), pencapaian target net zero emisi karbon, respons terhadap kondisi dunia yang kian bergejolak, tak pasti, kompleks dan ambigu (volatile, uncertain, complex, ambiguous (VUCA) dan berbagai perkembangan terkini lain. Semua itu menuntut sistem perkotaan nasional yang bervisi jangka panjang jelas disertai langkah jangka pendek dan menengah konsisten dan terpadu.
Perlu Dukungan Politis
Dalam kajian UN-Habitat (2018), Indonesia termasuk yang disebut telah secara eksplisit memiliki kebijakan nasional yang mengupayakan koherensi pembangunan perkotaan. Antara lain kita pernah punya National Urban Development Strategy (NUDS 1985) yang kemudian mewujud jadi Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT).
Setelah itu ada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (2005) dan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (2011) yang dikeluarkan Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaan Nasional. Terakhir, Bappenas juga memperbarui dokumen itu menjadi Kebijakan Perkotaan Nasional 2045.
Secara umum kebijakan perkotaan nasional terdiri atas dua bagian utama: hal-hal yang sifatnya nasional dan hal-hal yang sifatnya lokal namun perlu dukungan atau keselarasan nasional. Yang bersifat nasional setidaknya dapat terdiri atas upaya menjadikan kota sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan plus pembangunan regional yang seimbang. Sementara yang bersifat lokal perlu mencakup aspek-aspek ekonomi, lingkungan, sosial-budaya serta kelembagaan.
Dalam KPN 2045, ada lima kelompok kebijakan utama untuk mewujudkan visi perkotaan berkelanjutan 2045, yaitu: (1) sistem perkotaan nasional yang seimbang, menyejahterakan dan berkeadilan; (2) kota layak huni, inklusif, dan berbudaya; (3) kota yang maju dan menyejahterakan; (4) kota hijau dan tangguh; dan (5) tata kelola perkotaan yang transparan, akuntabel, cerdas dan terpadu.
Selain pertimbangan teknis di atas, telah lama disadari perlunya landasan hukum yang kuat guna memayungi KPN. Juga sudah ada upaya untuk membuat RPP maupun RUU Perkotaan, baik oleh Kementerian Dalam Negeri maupun Bappenas. Namun demikian, dukungan politis masih sangat lemah.