Banyak faktor yang menyebabkan konflik terjadi antar-anak bangsa. Bahkan hari-hari ini, seiring dengan berkembangnya media sosial, tidak sedikit konflik di dunia nyata diawali dari cekcok sederhana di ruang maya. Tidak jarang konflik tersebut disebabkan oleh pandangan atau pilihan politik yang berbeda. Padahal, perbedaan merupakan keniscayaan. Para pendiri bangsa pun memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tetapi mereka memiliki satu tujuan sama: Indonesia meredeka.
Indonesia tidak lahir di ruang hampa. Jauh sebelum merdeka, founding parents telah berjibaku—baik secara fisik maupun pemikiran—mengusahakan berdirinya Indonesia. Negara ini dihuni oleh manusia dengan beragam latar belakang. Keragaman tersebut tidak mungkin bisa disatukan tanpa satu pandangan yang sama. Jika menggunakan terminologi dari Ben Anderson, bangsa Indonesia adalah an imagined community, suatu komunitas terbayang.
Dalam buku terbarunya, Homo Indonesiaensis: Sebuah Megaproyek Psikologis, yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Abdul Malik Gismar mengatakan bahwa kebangsaan (Indonesia) adalah suatu realitas psikologis. “Sebagai komunitas terbayangkan, eksistensi Republik Indonesia mensyaratkan kemampuan warga negaranya—yang terpisah jarak ribuan kilometer, berbeda agama, bahasa, mata pencaharian, dan tidak pernah berjumpa satu sama lain—untuk membayangkan bahwa mereka ‘saudara’ sebangsa dan setanah air,” ungkapnya dalam pengantar buku.
Menurut penulis, kebangsaan Indonesia adalah suatu realitas psikologis. Dibayangkan bukan berarti tidak nyata atau tidak riil, justru sebaliknya, ia sangat nyata secara psikologis (psychologically real). Manusia Indonesia atau homo Indonesiaensis memiliki dua identitas: identitas lokal dan identitas nasional. Homo Indonesiaensis adalah konsep yang dinamis untuk menangkap kompleksitas hubungan antara identitas lokal dan identitas nasional Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, keindonesiaan ada dalam kesundaan orang Jawa, kebatakan orang Batak, keislaman orang Islam, kekristenan orang Kristen, dan seterusnya.
Keindonesiaan dijangkar dan dihayati secara konkret melalui beragam realitas kehidupan sehari-hari yang rutin dan banal. Penulis mengatakan bahwa buku ini tidak berupaya untuk merekonstruksi konsep kebangsaan secara historis, tidak pula akan ketat secara kronologis. Secara umum, buku ini berbicara mengenai psike atau jiwa orang Indonesia di seputar kelahiran kebangsaan Indonesia, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kebangsaan Indonesia, dan bagaimana mengurus keindonesiaan ini.
Secara lebih khusus, buku ini hendak mengurai bagaimana para pendiri bangsa bergulat menjawab pertanyaan fundamental mengenai negara dan bangsa seperti apa yang hendak mereka lahirkan, atas dasar apa negara dan bangsa ini hendak dibangun, dan bagaimana merumuskan kebangsaan baru ini. Lalu, setelah negara dan bangsa terbentuk dan merdeka, bagaimana mengurus manusia Indonesia yang sangat beragam dan membangun persatuan di antara mereka.
Harapannya, setelah membaca Homo Indonesiaensis, pembaca bisa semakin paham akan keragaman manusia Indonesia. Upaya menjadi manusia Indonesia adalah proses sepanjang hayat. Mari bersama kita rayakan keragaman, membangun persatuan, dan memastikan keadilan.