Makrifat Pagi dari Yudi Latif
Tahun baru sepatutnya ajang kelahiran ulang semua orang. Bunyi bel dan terompet malam pergantian menandai ritus peralihan: mengeluarkan yang buruk ke masa lalu, memasukan yang baik ke masa depan.
Dalam menyikapi yang lama dan yang baru, ada dua jenis kebebalan yang harus dihindari. Seseorang berkata, “Ini tua, oleh karena itu bagus.” Yang lain menukas, “Ini muda, oleh karena itu lebih baik.” Padahal, esensinya bukanlah yang tua atau yang muda, melainkan kebaikan apa yang didapat dari yang lama dan yang baru. Dalam mengarungi masa depan, sikap terbaik adalah “mempertahankan warisan masa lalu yang baik, seraya mengambil hal-hal baru yang lebih baik.”
Centang-perenang Indonesia terjadi karena reformasi melalui trayek sesat: mempertahankan yang buruk, membuang yang baik. Tradisi korupsi lebih giat dipertahankan, tetapi tradisi pelayanan publik lebih malas dikembangkan. Kepedulian kuasa lebih diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan dengan kiat korupsi, kolusi dan nepotisme yang lebih bebal, ketimbang mengembangkan nilai-nilai baru pemerintahan yang baik dan bersih.
Luput dari keinsyafan, bahwa nilai kehidupan tidaklah ditentukan oleh tahun-tahun dalam kehidupan kita, melainkan oleh kehidupan kita dalam tahun-tahun itu. Bukan berapa lama kita berkuasa, melainkan nilai apa yang kita berikan selama berkuasa. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah semakin lama berkuasa, makin banyak kebaikan yang ditanam; seburuk-buruknya kekuasaan adalah semakin lama berkuasa, makin banyak keburukan yang ditinggalkan.
Pangkal keburukan kekuasaan bermula ketika orang lebih terobsesi “cinta kekuasaan” (the love of power) ketimbang “kekuasaan untuk mencintai” (the power to love). Krisis kenegaraan di negeri ini terjadi karena jagad politik lebih didekap oleh orang-orang yang mencintai kekuasaan ketimbang kekuasaan untuk mencintai.
Dalam krisis yang membutuhkan kekuasaan yang lebih bertanggung jawab pada kebaikan hidup bersama, para pemimpin justru lebih mencintai kekuasaan yang melayani kepentingannya sendiri. Demi kekuasaan yang meyani diri sendiri itu, elit negeri tak segan menjerumuskan rakyat ke dalam kobaran api permusuhan antaridentitas yang membakar rumah kebangsaan menjadi puing-puing kesumat.
Seperti ironi yang dikeluhkan Thomas Paine, “Ada saat-saat yang menguji jiwa manusia. Tentara tua (summer soldier) dan patriot muda (sunshine patriot), dalam krisis ini, menghindarkan diri dari pelayanan terhadap negerinya.” Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumberdaya, melainkan kemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dan penerus dengan mental pengemis—yang tak bisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani—seberapa banyak pun kekayaan sumberdaya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.
Momen Kelahiran di Tahun Baru
Oleh karena itu, pada momen kelahiran kembali semua orang di tahun baru ini, yang perlu kita hidupkan adalah kekayaan jiwa: The Power of Love. Bahwa hidup itu pendek, sedang kehidupan itu panjang. Maka janganlah demi penghidupan, warga negeri tega mengorbankan kehidupan.
Memasuki tahun politik 2020, kesadaran untuk menumbukan kekuatan mencintai itu terasa penting. Politik yang sedianya merupakan seni mengelola republik demi kebajikan kolektif melalui perbaikan otoritas publik, jangan sampai terjerumus menjadi seni menipu dan memecah-belah rakyat dengan mengatasnamakan “kebajikan publik”.
Bung Hatta mengingatkan, “Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.”
Bung Karno pernah menguatirkan kemungkinan memudarnya kekuatan cinta yang melanda para pemimpin kita. “Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar ‘rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ‘volks’ seperti dulu?” Padahal, menurutnya, “Dulu itu kita semua adalah ‘rakyati’, dulu itu kita semua adalah ‘volks’. Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala pikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu ialah satu masyarakat adil dan makmur bagi rakyat. Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat dulu kita pakai sebagai alat perjoangan. Segenap kekuatan perjoangan kita dulu itu adalah kekuatan rakyat.”
Kwarsa Cinta
Memasuki tahun baru, seribu masalah menghadang kita, namun kekuatan cinta akan membuat yang sempit menjadi lebar, yang pengecut menjadi pemberani, yang miskin menjadi kaya, yang kaya menjadi pemurah. Kekuatan cinta memancarkan ketulusan berbakti meski tanpa jaminan popularitas dan imbalan kedudukan.
Seperti butir-butir pasir di dinding yang tak pernah dikenang orang. Dalam drama kehidupan ini, para perintis seringkali terlupakan, tersingkir para kurcaci oportunis yang pandai mencuri panggung. Namun, tanpa butir kebajikan, bangunan kehidupan takkan berdiri. Tanpa pengorbanan sepi pamrih, rumah kebahagian hidup bersama tak bisa diwujudkan. Kekuatan cinta mengikhlaskan niat berbuat baik dengan kerelaan dilupakan. Semulia-semulianya pemberian adalah amal saleh yang tak diingat bahkan oleh diri sendiri.
Akhirnya, kekuatan cinta pun tak mengenal putus asa. Siapa yang yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan nafas, dan berani terjun menyelami samudera yang sedalam-dalamnya. Teruslah berjalan menyusuri gelap malam. Makin jauh kita melangkah, makin dekat dengan fajar.