KEMENANGAN Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo dalam mempertahankan suara pemilihnya pada ajang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2018, menjadi sebuah pelajaran penting soal political personal branding. Kekuatan citra diri keduanya, tentu tidak sekonyong-konyong muncul.
Setelah Joko Widodo, keduanya dianggap sebagai sedikit contoh politikus yang sukses dalam membangun personal branding-nya.
Ridwan Kamil yang tadinya dikenal dari gerakan digital Indonesia Berkebun berhasil meraih suara pemilih terbanyak dalam Pilgub Jabar 2018 dan resmi dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat pada Rabu (5/9). Keberhasilan Ganjar Pranowo dalam pilgub Jawa Tengah selama dua periode pada 2013 dan 2018 juga disebut sebagai buah dari political personal branding yang kuat. Bahkan, kampanye-kampanye Ganjar di Jawa Tengah bisa dibilang sebagai sedikit contoh dari kampanye pilkada cerdas termurah sepanjang pilkada selama 16 tahun terakhir.
Praktisi komunikasi Silih Agung Wasesa menyebutkan hal itu dalam buku terbarunya yang berjudul Political Personal Branding, Strategi Jitu Menang Kampanye di Era Digital. Dengan strategi jitu, modal bukan lagi penentu dalam pemilu.
Personal branding memungkinkan seseorang untuk mengukuhkan reputasi yang diinginkannya di benak publik. Dalam dunia politik, reputasi ketokohan itu harus menancap kuat di benak calon pemilih. Mereka akan merasa dia satu-satunya pilihan yang ada.
Perlu diingat, personal branding bukanlah upaya memoles citra diri seseorang untuk membuatnya menjadi (tampak) baik di hadapan orang banyak, melainkan lebih pada memperkuat keunggulan yang ada di diri orang tersebut. Bukan soal dandanan yang rapi, sikap yang santun, penuh senyum atau menggunakan bahasa tubuh yang ritmis. Etika berbicara dan berperilaku itu memang perlu, tapi baru sekitar 7% dari kebutuhan personal branding yang sesungguhnya.
Jika ternyata pertempuran politik sudah sedemikian dekat, apa yang harus dilakukan lebih dulu untuk membangun personal branding? Dari hasil penelitian dan pengamatannya selama bertahun-tahun, penulis menyarankan untuk memanfaatkan digital personal branding, dimulai dari media sosial.
Kemampuan melek digital ini dinilai penting karena jumlah pemilih pemula (milenial) saat ini lebih dari 30%. Mereka dari kelas menengah berusia 18-30 tahun, agak cuek dengan politik, jarang punya waktu kumpul bareng warga, apalagi ikut acara politik. Mereka kerap menjadi trendsetter, lebih senang menyendiri dan menjelajahi dunia maya. “Mereka inilah swing voters, undecided voters. Inilah tantangan para politikus zaman now.”
Bagaimana caranya? Langkah pertama dimulai dengan pendalaman taktik digital personal branding. Yang harus digali ialah penempatan pesan pada segmen dan target berbeda. Waktu mengunggah konten juga jadi pertimbangan penting. Kekuatan personal branding yang digabungkan dengan kekuatan digital diyakini mampu membuat pendanaan kampanye pun menjadi murah. Seperti yang dilakukan Ganjar Pranowo, yang sukses menjadi Gubernur Jawa Tengah selama dua periode.
Pun dengan strategi digital, Joko Widodo yang dulu Wali Kota Solo melejit menjadi Gubernur DKI hingga akhirnya menjadi Presiden ketujuh negara ini. Ridwan Kamil, tokoh muda yang punya banyak penggemar di media sosial bisa meraup hati pemilihnya hingga didaulat menjadi Wali Kota Bandung.
Demikian juga Fahri Hamzah, anggota DPR-RI dari Fraksi PKS yang sering menyampaikan ide-ide nyelenehnya di media sosial termasuk salah satu influencer politik terpopuler di Indonesia.
Satu peristiwa tak kalah menarik ialah kemunculan nama gadis muda Tsamara Amany, 22, dalam peta perpolitikan Indonesia. Nama Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu tiba-tiba melejit setelah menantang Fahri Hamzah untuk berdebat pada 2017.
“Ini membuktikan, pada era demokrasi digital sekarang ini, seorang pendatang baru bisa didesain sedemikian rupa untuk menjadi viral, tenar, melejit popularitasnya mengalahkan tokoh lama,” ujar penulis di halaman 45.
Tiga pintu
Perlu diketahui, ada tiga pintu utama untuk bisa dekat dengan masyarakat atau calon pemilih, yakni kognisi (pikiran rasional), afeksi (perasaan atau emosi), dan psikomotorik (perilaku). Sentuhlah kognisi publik secara rasional dengan cara kreatif sehingga mereka tahu alasan untuk memilih.
Meskipun sudah punya alasan memilih, publik perlu memiliki kedekatan batin dan ini jauh lebih kuat daripada kedekatan rasional itu. Pendekatan emosi ini menjadi jalan masuk menuju bawah sadar mereka.
Seperti yang terjadi di Lampung, ketika seorang peserta kampanye pilkada mampu menarik minat pemilih hanya dengan mengenakan blangkon di kepalanya. Blangkon, dengan cepat masuk ke dalam bawah sadar masyarakat keturunan Jawa yang ada di Lampung.
Ketika emosi dan kognisi sudah dikuasai, saatnya menciptakan tindakan untuk mendorong mereka memilih. Menguasai emosi dan kognisi tanpa ada tindakan, akan membuat semuanya sia-sia.
Kekalahan kandidat Presiden Amerika Serikat Albert Arnold Gore Jr. dalam Pemilu pada 2000 dapat menjadi contoh. Setelah sambutan gegap gempita diperoleh Al Gore dalam setiap kampanye, tim suksesnya kurang agresif menjemput suara di hari H. Kelompok pendukung Al Gore tidak datang karena mereka sudah yakin calonnya itu pasti menang tanpa harus ikut mencoblos di hari H. Hal yang sama dialami Hillary Clinton yang dikalahkan Donald Trump pada Pemilu AS di 2016.
Meski keunggulan yang dimiliki sama dengan lawan, cukup dimodifikasi agar menjadi berbeda. Ambil contoh, jika kompetensi yang dimiliki Anda dan lawan politik Anda sama-sama bidang ekonomi, carilah sesuatu yang specialized. Kalau lawan dikenal sebagai pakar pemberdayaan ekonomi kerakyatan, Anda bisa memoles kompetensi sebagai pakar pencetak entrepreneur muda.
Setelah mengidentifikasi kompetensi, lakukan konsistensi untuk menerapkan kompetensi itu dalam keseharian. Semakin kreatif cara Anda, semakin melekatlah nama Anda dalam benak masyarakat.
Cara yang kerap dilakukan ialah dengan membangun makna dari sebuah nama agar mudah diingat hingga ke bilik suara. Akan lebih baik kalau makna baru nama sesuai dengan keunggulan kompetensi Anda. Hal ini penting karena lembar pemilih dalam pemilu hanya mencetak nama calon.
“Lebih dari 60% memori yang masuk adalah melalui mata dengan kekuatan visual, maka nama sebagai caleg harus bisa divisualkan dalam pikiran pemilih,” sebut penulis di halaman 33.
Penggunaan warna yang tepat juga tak kalah penting untuk dapat mendongkrak popularitas personal branding politikus. Merah misalnya, berguna untuk mengikat perhatian audiensi. Kombinasi merah dan kuning sangat penting bila mengadakan pertemuan dengan konstituen.
Saat menyembunyikan taktik politik melawan politikus lainnya, kombinasikanlah warna pink dengan hitam. Penggunaan warna hitam yang menempel langsung pada atribut di tubuh bisa membangun kesan misterius, tegas. Namun, gunakan pula warna putih untuk membangun keterbukaan.
Jika Anda membutuhkan warna penghangat agar tidak berjarak dengan rakyat, aksen jingga bisa menjadi pilihan. Hijau dikenal sebagai warna kemakmuran dan menjadi warna yang paling bersahabat dengan mata.
Delapan tahun
Buku Political Personal Branding ini melengkapi buku trilogi Silih Agung Wasesa sebelumnya, yaitu Strategi Public Relations (2005), Political Branding (2013), dan Personal Branding (2018). Butuh waktu delapan tahun bagi penulis untuk menuntaskan penulisan bukunya setebal 260 halaman itu.
Bukan kecewa, pakar komunikasi itu justru menuai berkah dari proses panjangnya itu. Ide-ide yang berhasil ditangkapnya lebih banyak seiring dengan kemunculan gelaran pilkada, pileg, dan pilpres sehingga buku yang ditulisnya lebih komprehensif.
“Kasusnya langsung di ambil di lapangan. Solusinya sangat masuk akal. Seandainya jadi buku wajib, maka akan ada ratusan miliar dana kampanye yang terselamatkan,” ucap Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, saat memberikan testimoninya di buku itu.
Penulis yang sudah malang melintang selama 20 tahun di dunia komunikasi itu memang dikenal banyak membantu tokoh-tokoh politik di Indonesia dari berbagai profesi. Ilmu psikologi yang didalaminya juga menyingkap rahasia-rahasia penting untuk memaksimalkan branding politikus atau parpol, melalui sejumlah kuesioner dan simulasi.
Pada akhirnya, buku ini setidaknya berhasil membangun citra positif, bahwa menjadi politikus itu begitu seru, tidak seburuk yang digambarkan dalam forum-forum publik. Terpenting, buku ini bisa menjadi acuan politikus dan partai politik yang ingin berkampanye hemat dan 75% lebih efisien.