Refleksi dari Yudi Latif
Saudaraku, seorang munsyi bertanya pada orang biasa, ”Bagaimana pidato pemimpin kita hari ini?” Orang itu pun menjawab enggan, ”Seperti biasa, Pak. Pemimpin kita bicara kebohongan!” Suatu spontanitas kesimpulan yang merisaukan. Di Republik ini, ucapan pemimpin dianggap laksana lautan pasir kebohongan sebagai abnormalitas yang dinormalkan, bahkan menjadi pilar negara.
Bahasa politik menjadi siasat pencitraan untuk membuat kebohongan terkesan kebenaran, kesembronoan terkesan keberanian, kebodohan terkesan kemisteriusan, pemborosan terkesan kegairahan pembangunan, pengurasan terkesan kedermawanan, ketakbertanggungjawaban terkesan ketidakintervensian, kelancungan terkesan ketaksengajaan.
Panggung politik mengalami defisit keteladanan dan negarawan, surplus kehinaan dan pengkhianatan. Apabila ada yang paling salah dalam proses pembelajaran politik di negeri ini, hal itu tak lain pahlawan selalu ditempatkan di kesilaman di luar diri; tak pernah dihadirkan di kekinian di dalam diri. Dengan begitu, pahlawan selalu merupakan tanda penantian dan kematian, tak pernah menjanjikan kehadiran dan kehidupan.
Padahal, makna suatu kematian adalah warisan kebaikan yang hidup hari ini. Makna suatu penantian, adalah kebaikan yang ditanamkan untuk masa depan. Makna kemarin dan hari esok, yang berlalu dan berlaju, sangat ditentukan oleh tindakan kepahlawanan yang hidup saat ini.
Malangnya, dari Pemilu ke Pemilu pahlawan yang dinanti tak kunjung menjelma. Para kandidat penguasa datang dengan niat mulia, tapi berakhir dengan cela; mulai mengemudi dengan menyalakan lampu sen ke kiri, tapi di persimpangan berbelok ke kanan; berangkat sebagai sosok lugu pengabdi, berakhir dengan gurita loba.
Harapan rakyat yang tak kunjung mendekat melahirkan keluhan panjang tentang sebuah negeri murung yang terus menanti pahlawan juru selamat. Untuk mengobatinya, pesan dialog Andrea dan Galileo dalam drama Bertolt Brecht pantas dipertimbangkan. Andrea berkata, “Negeri murung yang tak punya pahlawan.” Galileo menukas, “Bukan. Negeri murung yang perlu pahlawan.” Pahlawan itu tak perlu dinanti, tetapi perlu dihidupkan dalam diri setiap jiwa dan diaktualisasikan dalam kehidupan publik sekarang dan sini.