ISIS tak pernah mati akal untuk membujuk rayu para martir baru. Sama seperti yang dilakukan gerakan-gerakan mobilisasi dalam bisnis maupun politik, ISIS sejak tahun 2014 menggunakan tagar-tagar untuk meningkatkan dukungan dan popularitasnya.
Dengan pola komunikasi yang persuasif dan seakan tanpa masalah, pengikut ISIS lainnya pun dapat menyebarkan paham ideologinya secara mandiri, tanpa arahan. Salah satu pengaruh dari kebebasan berkreasi tersebut adalah munculnya tagar-tagar yang diadaptasi dari tagar populer yang sudah ada sebelumnya.
Misalnya, tagar #YOLO atau akronim dari You Only Live Once, yang awalnya dipopulerkan oleh Drake, penyanyi rap asal Kanada dalam salah satu lagunya pada 2011. Tak disangka, frasa ini ternyata begitu kuat sampai-sampai berubah menjadi kultur pop yang cenderung konyol.
Abu Abdurrahman al Britani dan Abu Daighum al Britani, tentara ISIS asal Inggris memanfaatkan tren tersebut dengan meluncurkan tagar #YODO, yang berarti You Only Die Once. Mereka berdua tergabung dalam Rayat al Tawheed, salah satu faksi ISIS yang berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk menyebarkan paham tersebut. Tagar ini sendiri bertujuan untuk mendorong para pejuang untuk mem-posting foto-foto tangan mereka yang berlumuran darah setelah melakukan pembunuhan pertama mereka.
Kampanye Tagar ala ISIS
Singkat, padat, efektif. Hal-hal inilah yang disasar dari pesan kampanye-kampanye ISIS di media sosial. Pesannya yang universal ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan “simpati” dari berbagai belahan dunia secara cepat. Efeknya, dukungan terhadap ISIS pun tidak hanya berasal dari penduduk negara mayoritas muslim. Penduduk dari negara-negara dengan jumlah penduduk muslim yang relatif minoritas seperti Amerika Serikat dan Inggris pun menyuarakan dukungannya terhadap ISIS.
Penelitian dari Brookings Institute pada 2015 sungguh mencengangkan, menemukan bahwa dua persen dukungan terhadap ISIS melalui Twitter berasal dari Amerika Serikat. Angka tersebut hanya terpaut tipis dari Arab Saudi sebagai negara mayoritas muslim yang mencatatkan angka 4,3 persen. Betapa efektif dan dahsyatnya mobilisasi dan orkestrasi (#MO) yang dilakukan oleh ISIS.
Maraknya mobilisasi yang dilakukan masyarakat dalam gerakan-gerakan sosial yang dilakukan via tagar, serupa dengan apa yang dilakukan ISIS ini. Hanya saja tujuan mereka tidak baik dan cenderung pada kekerasan, sayang bukan, apabila gerakan yang positif kalah dengan gerakan yang tidak baik.
Meminjam istilah Rhenald Kasali dalam buku #MO, kampanye seperti ini mengubah konsumen yang aktif menjadi partisipan. Orang tidak sekedar menerima informasi tapi juga turut menyebarkan informasi dengan kesadarannya sendiri karena merasakan relevansi isu tertentu dengan dirinya.
Betapa hebatnya pengaruh tagar dan sosial media di era digital ini ya, sampai-sampai bisa mengubah persepsi seseorang ya.