Jika kita bicara citra Indonesia di dunia, kadang yang sering muncul adalah sisi negatifnya. Misalnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang ada di posisi 85 dari 180 negara, sehingga Indonesia masih identik dengan perilaku korup.
Lalu bagaimana citra penyelenggaraan jaminan kesehatan di negeri ini? Tidak berlebihan jika dikatakan jaminan kesehatan di Indonesia sebelum 2014 adalah salah satu yang paling liberal di dunia. Alasannya, hanya mereka yang berduit yang bisa mendapatkan layanan kesehatan. Banyak kritik sosial bermunculan yang menyuarakan mahalnya biaya kesehatan.
Maklum, hanya kalangan tertentu yang bisa mengakses layanan kesehatan. Ini karena mereka telah mendapatkan jaminan, entah secara pribadi maupun melalui perusahaan tempat bekerja. Selebihnya, harus menanggung sendiri. Semakin berat penyakitnya, semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan. Hingga akhirnya muncul adagium: “orang miskin dilarang sakit”.
Namun, kondisi demikian juga pernah dialami oleh warga Amerika Serikat. Hanya mereka yang mampu saja yang bisa mengakses layanan kesehatan. Bahkan di negara itu, isu layanan kesehatan selalu menjadi topik kampanye yang berulang setiap kali ada perhelatan pilpres. Mulai dari kampanye era Harry S. Truman (1945) hingga Barack Obama (2008).
Tercepat di Dunia
Hadirnya BPJS Kesehatan untuk menaungi masalah kesehatan masyarakat Indonesia telah melewati proses yang panjang dan bisa dibilang baik dibandingkan negara-negara lain, mengingat variabel jumlah penduduk Indonesia yang besar serta kompleksitas masalah yang lebih rumit.
Bayangkan, negara maju sekelas Jerman butuh waktu 120 tahun untuk mencapai 85 persen coverage layanan bagi warganya. Sementara itu, program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang dicanangkan pada 31 Desember 2013, yang kemudian disusul dengan beroperasinya BPJS Kesehatan hingga akhir Oktober 2020, sudah menjangkau 223 juta warga. Ini setara dengan 83 persen dari total jumlah penduduk Indonesia hanya dalam waktu 7 tahun!
Program JKN yang kemudian dikonsolidasikan dengan program Kartu Indonesia Sehat (KIS) merupakan program dengan skema single payer terbesar di dunia, sehingga tidaklah mudah membandingkannya dengan jaminan sosial yang telah lebih dulu diimplementasikan di sejumlah negara. Karena itulah, tak mengherankan jika BPJS Kesehatan mampu mendulang berbagai penghargaan internasional.
Asean Social Security Association (ASSA) memberikan ASSA Recognition Award pada Desember 2020 dalam kategori “Continuous Improvement Recognition Award” atas inovasi one stop apps, MONIKS, yaitu aplikasi monitoring kerjasama strategis yang bisa memantau seluruh kerjasama yang dilakukan BPJS Kesehatan dengan instansi, lembaga nasional maupun internasional secara real time.
Sejumlah negara maupun lembaga internasional pun menjadikan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara jaminan kesehatan terbesar di dunia. Lembaga ini menjadi rujukan studi banding dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan.
Inovasi Adalah Kunci
BPJS Kesehatan juga mengubah rule of the game dalam ekosistem industri pelayanan kesehatan. Dalam hubungannya dengan rumah sakit misalnya. Sebelum BPJS Kesehatan hadir, pola yang diterapkan adalah fee for service. Namun, hal itu diubah menjadi model perspective payment.
Hal ini berkaitan pula dengan prosedur layanan, yang di dalamnya peserta tidak lagi bisa menentukan sendiri dokter spesialis yang ingin dituju, melainkan harus melalui mekanisme berjenjang. Mulai dari faskes tingkat pertama hingga ke rumah sakit rujukan.
Dalam bukunya, Leading In Crises, Rhenald Kasali menyebutkan dalam sebuah gelombang besar perubahan, respons organisasi menjadi kunci utama untuk tetap eksis. Seperti halnya yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan yang merespons dengan hadirnya digitalisasi, perubahan mindset dan budaya kerja bagi karyawan, serta penanganan fraud untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Selama semangat inovasi ini terus digaungkan oleh BPJS Kesehatan, Indonesia bisa membanggakan pencapaiannya dalam bidang pelayanan Kesehatan ke mata dunia.[]