Bagaimana caranya bisnis bertahan di zaman “now” yang begitu dinamis? Sustaining innovation (inovasi berkelanjutan) tak lagi efektif! Untuk bertahan kini yang dibutuhkan adalah disruptive innovation. Apakah itu?
Disruptive innovation ialah inovasi yang tidak sekadar mengubah bentuk, ukuran, dan desain, melainkan inovasi menyeluruh yang mengubah metode, cara kerja, bahkan produk yang tidak lagi relevan. Orang-orang lama yang sudah nyaman dengan masa lalu pasti akan kaget dengan perubahan ini. Karenanya, dibutuhkan para eksekutif yang mampu melakukan self disruption
6 Perangkap Bisnis
Dalam buku berjudul “Tomorrow is Today” Professor Rhenald Kasali menjelaskan terdapat 6 jebakan utama yang bisa membuat sebuah perusahaan gagal di era disrupsi, ke enam jebakan tersebut yakni :
Pertama, success trap atau complacency trap. Ini perangkap paling berbahaya! Perusahaan tidak mampu menangkap sinyal-sinyal perubahan yang terjadi di pasar menjadi terlena dengan pencapaian tinggi yang dihasilkan sehingga merasa bahwa ia akan selalu menjadi juara dengan cara dan pengelolaan manajemen perusahaan yang sama.
Kita diingatkan: sukses adalah perangkap. Kenyamanan juga perangkap. Merasa (paling) hebat, juga perangkap. Sebagai contoh sukses trap ini adalah jatuhnya perusahaan ponsel merk “Nokia”. Seperti yang telah diketahui jika Nokia pernah dan sempat menjadi raja untuk produsen ponsel terbaik selama 14 tahun dengan berbagai terobosan mulai dari ponsel yang tahan banting, tahan lama dan desainnya selalu unik. Salah satu faktor penyebabnya yakni para pemimpin Nokia menilai bahwa Nokia telah berkuasa selama 14 tahun sehingga tak mungkin ada pihak yang menyainginya.
Kedua, competency trap. Perangkap ini hinggap pada perusahaan-perusahaan yang merasa memiliki core competency unggul. Banyak pengusaha yang menganggap dirinya sudah cukup berkopenten. Padahal, zaman selalu berubah dan berkembang. Di luar sana, kompetitor pun terus meningkatkan kompetensi. Jika anda nggak mau belajar hal baru, Anda bisa terjebak dengan kemampuan sendiri.
Seorang futurolog bernama Alvin Toffler menuliskan “The illiterate of the 21st Century will not be those who cannot read or write, but those who cannot learn, unlearn and relearn.“ Sehebat apapun anda, dunia akan terus berubah, dan apabila anda sudah berhenti belajar, dan merasa telah pandai, maka perasaan pandai tersebut akan menjadi alasan bagi anda untuk tidak mempelajari hal-hal baru. Dari titik ini lah maka pelan tapi pasti anda akan disalip oleh para pesaing anda.
Ketiga, sunk-cost trap. Ini merupakan jebakan dari biaya yang telah dikeluarkan. Oleh para pengambil keputusan yang buruk, perusahaan diputuskan tetap melanjutkan bisnis yang sama meski jelas merugi. Padahal juga, ketelanjuran mengeluarkan biaya atau investasi ini akan menciptakan pengeluaran-pengeluaran (biaya) yang tidak perlu ketika manajemen memutuskan untuk tidak menghentikannya. Kerugian yang makin besar menjadi keniscayaan. Sebagai contohnya adalah seorang pengusaha indekos yang ingin meningkatkan omset. Dia menambah jumlah kamar dengan mengeluarkan biaya yang nggak sedikit. Setelah pembangunan selesai, ternyata ada kesalahan dalam struktur fisik bangunan yang cukup membahayakan sehingga nggak ada peyewa yang tertarik. Bangunan tersebut pun dibiarkan saja tanpa renovasi, karena merasa belum balik modal atas biaya renovasi yang telah ia keluarkan.
Keempat, blame trap. Dalam jebakan ini, perusahaan cenderung mencari siapa yang bisa disalahkan (“pesakitan”), dan bukannya membereskan masalahnya dan mengevaluasi diri. Dan yang salah itu, pasti di luar dirinya sendiri. Salah satu contoh adalah perusahaan taksi konvensional yang menuding taksi online sebagai penyebab kemunduran bisnisnya. Mereka lantas berdemo, mencegat taksi-taksi online, bahkan menyuruh penumpangnya untuk turun.
Kelima, cannibalization trap. Ini jebakan “serba salah”. Sebuah perusahaan berinovasi dengan menciptakan produk baru, tapi produk barunya secara sarkas menggerus pasar produk existing milik sendiri yang ia ciptakan sebelumnya.
Mari belajar dari kisah kejatuhan Kodak. Di era fotografi film, Kodak mampu memonopoli perdagangan film kamera sebelum akhirnya tergerus oleh sistem digital. Steven Sasson, pria berusia 24 tahun bekerja di Eastman Kodak pada 1973. Dua tahun bekerja di bawah naungan Kodak ia kemudian menemukan cara kerja kamera yang lebih canggih yakni menggunakan sistem digital. Ia melakukan demonstrasi di hadapan para eksekutif perusahaan dengan memperlihatkan cara kerja dari kamera buatannya. Sayangnya Kodak tak tertarik dengan penemuan tersebut, dengan kamera digital tersebut Kodak khawatir bakal mengganggu bisnis kamera konvensionalnya.
Seiring dengan lajunya perkembangan teknologi kamera digital, orang-orang mulai beralih ke sistem yang lebih modern dan meninggalkan sistem kamera film. Kodak kemudian mengalami kebangkrutan pada 2012 lalu. Amati ekitar anda, apakah masih banyak produk dari merk “Kodak” yang digunakan masyarakat ?
Keenam, confirmation trap. Sebuah upaya meminta konfirmasi pihak lain untuk membenarkan sikap atau pilihan bisnisnya. Namun, alih-alih untuk benar-benar menguji kualitas konsep atau produknya, yang terjadi malah lebih karena kurang percaya diri atas keputusan yang diambil. Pihak lain dikonfirmasi untuk memberi “stempel pembenaran” atas kejadian negatif yang menjadi konsekuensinya; omzet yang turun, pabrik yang salah urus, business process yang keliru dan lain-lain.