Oleh Cusdiawan, Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
“AE boleh pergi dahulu, tetapi catatan-catatan kritis A.E pasti akan terus hidup bersama orang-orang yang menyadari bahwa demokratisasi di Indonesia belum selesai”, ungkapan tersebut ditulis oleh Andrinof A. Chaniago dalam buku Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi terbitan Mizan (hlm.108).
Berkaca pada ungkapan Andrinof A. Chaniago tersebut, saya berpandangan bahwa buku Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi yang dieditori oleh Usman Hamid dan Ahmad Taufiq tersebut merupakan buku yang penting untuk dibaca dan dikaji lebih lanjut, karena buku tersebut di samping untuk mengenang sosok ilmuwan dan aktivis pro-demokrasi, yakni AE Priyono, buku tersebut pun berisi mengenai catatan-catatan kritis terkait serangkaian permasalahan di dalam demokrasi Indonesia.
Selain itu, buku tersebut pun bisa juga menjadi ‘bahan renungan’ sekaligus pengingat masih ada ‘tanggung jawab etis’ bagi orang yang disebut sebagai intelektual. Masih banyak kerja-kerja intelektual yang perlu untuk terus diupayakan.
Tanggung Jawab Etis Intelektual di Tengah Potret Demokrasi yang Buram
Secara teoretis, sebagaimana yang diungkapkan oleh Larry Diamond dan Leonardo Molino dalam buku Assessing the Quality of Democracy (2005), bahwa apa yang disebut sebagai dimensi substantif dalam demokrasi, mensyaratkan salah satunya, yakni tereduksinya kesenjangan politik, ekonomi dan sosial. Tidak hanya itu, ada juga yang disebut sebagai dimensi result, yang mensyaratkan ketanggapan (responsiveness) pemerintah terhadap kepentingan publik.
Akan tetapi, yang terjadi dalam demokrasi Indonesia, dan itu menggelisahkan pikiran seorang AE Priyono sebagaimana yang diungkapkan oleh Edwin Partogi Pasaribu, yakni demokrasi yang disabotase oleh para elite (hlm.236). Sehingga‘politik’ yang semestinya menjadi yang ‘publik’, justru menjadi sarana para kekuataan elite ekonomi dan politik untuk memuluskan kepentingan privat/ekslusifnya. Dengan kata lain, fenomena tersebut menyebabkan ‘diskontinuitas antara republik dengan publiknya’. Dengan demikian, kualitas demokrasi Indonesia belum dapat dikatakan mencapai substantive dimensions dan result dimensions.
Kondisi yang seperti itulah, yang membuat AE Priyono, sebagaimana yang diungkapkan oleh Irsad Ade Irawan, menyebut demokrasi Indonesia mengalami ‘defisit demokrasi’, mengingat keberhasilan demokrasi tidak bisa diukur hanya dengan terselenggaranya pemilu semata (hlm.248).
Oleh sebab itu, menyikapi potret demokrasi yang buram tersebut, Cusdiawan mengungkapkan, bahwa AE Priyono menekankan mengenai pentingnya revitalisasi republikanisme (hlm.259). Dalam republikanisme, sebagaimana yang diungkapkan oleh Robertus Robert dan Tobi dalam buku Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan (2017), bahwa kelestarian demokrasi bukan hanya memfokuskan pada desain institusi semata, melainkan memerlukan juga kultur wargawi yang aktif dan mengokohkan warga sebagai pusat dari politik demokratis.
AE Priyono pun berpendapat mengenai pentingnya memberdayakan demos dan bahkan harus digagas ulang
AE Priyono pun berpendapat mengenai pentingnya memberdayakan demos dan bahkan harus digagas ulang. Penggagasan ulang demos bertujuan untuk mengembalikan makna autentiknya sebagai entitas warga-negara dan warga-bangsa yang setara dan egalitarian. Bagi AE Priyono, repolitisasi demos memang harus dimulai dan titiknya yang paling awal, khususnya untuk membangun ruang-ruang yang di dalamnya proyek resistensi terhadap monopolisasi kekuasaan politik-ekonomi-sosial bisa dikerjakan (hlm. 258-259).
Saya rasa penggagasan ulang demos tersebut, tidak bisa dilepaskan karena permasalahan dalam demokrasi Indonesia yang menjadi keresahan AE Priyono, yaitu sebagaimana yang diungkapkan oleh Wilson Obrigados, yakni soal maraknya politik identitas, dan terjadi diskoneksi antara basis lokal gerakan demokrasi dan konsolidasinya di tingkat nasional (hlm.273).
Oleh sebab itu, langkah strategis yang bisa ditempuh untuk menyikapi dua tantangan demokratik itu, yakni dengan mengembangkan basis-basis massa yang inklusif, serta mentransformasikan gerakan sosial keagamaan berdasarkan pemihakan politik kelas. AE pun menyuarakan agar Islam politik diintegrasikan ke dalam gerakan demokratisasi (hlm.273).
Saya berpandangan bahwa hal itu memang tepat, karena bagaimanapun juga demokrasi membutuhkan ruang publik yang bebas dari dominasi sempit agama, etnik ataupun sentimen-sentimen primordial lainnya. Karena ketika yang terjadi semakin mengkristalnya sentimen primordial ke dalam ruang publik, hal itu akan mengganggu proses konsolidasi demokrasi itu sendiri.
AE Priyono sendiri diketahui aktif dalam melakukan pemberdayaan masyarakat sipil, ia berupaya menguatkan basis-basis massa di tingkat lokal (hlm.273). Hal itulah, yang menurut hemat saya perlu untuk terus diupayakan, agar diskursus-diskursus mengenai demokratisasi tidak hanya berhenti pada teks.
Selain itu, Denny JA pun mengemukakan mengenai keresahan AE lainnya, yakni soal kedangkalan ruang publik (hlm.215). Meminjam pendapat Budi Hardiman dalam buku Ruang Publik, ruang publik di sini didefinisikan sebagai panggung komunikasi politis dan partisipasi demokratis. Dalam era kontemporer, sosial media memainkan peran penting sebagai ruang publik tersebut. Oleh sebab itu, fenomena kedangkalan ruang publik, yang bisa ditandai dengan minimnya kritisisme masyarakat, menjamurnya isu SARA dan sebagainya, penting untuk menjadi perhatian mengingat sosial media dianggap sebagai salah satu instrumen yang efektif untuk membangun persepsi.
Oleh sebab itu, tanggung jawab intelektual secara sederhana dalam persoalan tersebut, yakni menyuguhkan wacana-wacana yang mencerahkan ke dalam ruang publik, agar ruang publik tidak didominasi oleh wacana-wacana sentimentil (kebencian dan sebagainya) tersebut.
Saya rasa hal-hal tersebut perlu untuk menjadi perhatian utama bagi kelompok yang disebut sebagai intelektual, mengingat secara sederhana yang disebut sebagai intelektual, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh Ulil Abshar Abdalla “kecenderungan untuk bergerak melampaui spesialisasi akademis yang sempit, yang memukau seorang intelektual bukanlah suatu gagasan yang sudah distrukturkan secara mapan dalam tradisi ilmiah tertentu, melainkan keprihatinan terhadap suatu masalah yang menyangkut arah dalam masyarakat secara luas” (hlm.168).
Singkat kata, apa yang disebut sebagai intelektual, yakni orang yang mempunyai perhatian lebih yang menyangkut masalah publik. Oleh sebab itu, sudah selayaknya masalah-masalah politik di Indonesia yang begitu mengakar sebagaimana pemaparan di atas, menjadi perhatian utama bagi kalangan intelektual karena hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab etisnya, tentunya untuk kehidupan publik yang lebih baik lagi.
Dapatkan buku Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi versi digital gratis disini