SELALU ada yang menarik untuk dibahas dari seorang Koesno Sosrodihardjo atau Soekarno, presiden pertama republik ini. Salah satu sisi menarik untuk diketahui ialah bagaimana hubungan Soekarno dengan Islam. Rahmat Sahid merangkumnya dalam buku setebal 352 halaman berjudul Ensiklopedia Keislaman Bung Karno.
Buku ini mencantumkan pidato-pidato Bung Karno dalam berbagai perayaan hari besar Islam, untuk memperkuat fakta keislaman beliau. Dimulai saat ia menghadiri kuliah umum di UI pada 1953, sampai saat peringatan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW, di Istana Negara, pada 1966.
Al Qur’an dan Bung Karno
Sebagai pemeluk agama Islam, Soekarno mengaku ia cukup progresif dalam memahami ajaran-ajarannya. Sedari muda ia sudah mempertanyakan wujud nyata dari Tuhan. Ia bahkan ingin bertemu dengan tuhan untuk mengetahui wujud zat yang telah menciptakannya. Hingga akhirnya ia membuka Alquran pada umur 28 tahun dan meyakini keberadaan Tuhan yang dicarinya selama ini.
“Tuhan adalah suatu zat Mahazat yang di mana-mana, juga di hadapanku, juga di hadapanmu. Saudara-saudara, juga di belakangmu, juga di atasmu, tetapi satu, esa. Inilah jawaban yang aku dapat dari Alquran. Tentang Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa,” ungkap Bung Karno saat menghadiri Nuzululquran di Istana Negara, Jakarta, 12 Februari 1963.
Omongan itu bukan yang pertama diucapkan olehnya. Bung Karno mengaku dari kecil memang tidak mendapatkan pemahaman cukup tentang Islam. Karena itu, ia pun melakukan pencarian sendiri terhadap Tuhan dengan membaca sejumlah buku, bertanya kepada sejumlah orang yang dianggapnya sebagai guru spiritualnya.
“Sungguh keras kepala anak muda itu, mudah-mudahan Allah menyadarkan pikirannya,” kata Haji Agus Salim saat Bung Karno mengunjunginya di Bandung.
Mereka berdua, Bung Karno dan Agus Salim, sama-sama di buang di Muntok, di Bangka Belitung. Agus Salim yang memiliki nama asli Mashudul Haq merupakan pemimpin Sarekat Islam, organisasi pertama yang lahir di Indonesia. Ia menjadi pemimpin kedua yang menggantikan HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus mertua Soekarno.
Kedekatan Bung Karno dengan tokoh-tokoh Islam memang sangat erat. Selain Agus Salim, Soekarno juga mendatangi KH Ahmad Dahlan. Beliau mengakui bahwa ketika pengertiannya tentang keislaman masih remang-remang, pemimpin Muhammadiyah itulah yang memberikan pengertian mengenai gerakan Islam yang dipimpinnya.
Selain kedua nama itu, Bung Karno juga sering berkonsultasi dengan para habib yang menjadi keturunan langsung Nabi Muhammad SAW, seperti Habib Ali di Kwitang dan Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad. (Halaman 306)
Bung Karno selalu menjaga kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam dan berbagai jenis ormas Islam yang ada di Indonesia. Sebaliknya, tokoh-tokoh ini pun memiliki ketertarikan tersendiri terhadap Bung Karno dengan perjuangannya, bahu-membahu merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan dengan orientasi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Revolusi Moral
Ketakjuban Bung Karno pada Alquran diucapkan berkali-kali. Di mata Soekarno, Alquran merupakan kitab revolusi yang mampu mengubah setiap jengkal aspek kehidupan manusia di permukaan bumi. Revolusi moral yang digerakkan Alquran pun mampu membentuk seseorang menjadi manusia baru.
“Alquran mendatangkan revolusi batin manusia. Alquran mendatangkan revolusi dalam pandangan manusia terhadap Tuhan. Alquran mendatangkan revolusi ekonomi. Alquran mendatangkan revolusi mengenai hubungan manusia dengan manusia, dus revolusi sosial. Alquran mendatangkan revolusi yang mengadakan perubahan mutlak, membentuk manusia baru. Alquran mendatangkan revolusi moral, moral yang meliputi seluruh dunia,” beber Bung Karno saat menyampaikan amanat pada peringatan Nuzululquran di Istana Negara, 6 Maret 1961.
Situasi kebatinan yang dihadapi Nabi Muhammad SAW, saat ayat pertama turun di Gua Hira dianggapnya sebagai salah satu peristiwa luar biasa. Tatkala malaikat Jibril berkata kepada Muhammad, “Iqra, Iqra, Iqra.”
Bacalah, bacalah, bacalah, gemetarlah Nabi beberapa kali, bahkan sesudah Nabi mengikuti ucapan Jibril pun, beliau pulang masih gemetar. Bahkan, gemetarnya Nabi terus berlangsung setiap menerima wahyu. Apakah karena Jibril mendatanginya? “Tidak, tetapi oleh karena Alquran ini adalah satu mukjizat yang amat hebat,” sebut Bung Karno.
Ia juga menganggap Nabi Muhammad SAW ialah manusia teragung yang pernah hidup di kolong langit. Selama menjadi Presiden, Bung Karno selalu mengadakan Maulid Nabi dan Isra Mikraj di Istana Negara, Jakarta, secara khidmat. Meskipun beliau tengah berada di luar negeri, ia tetap berpesan agar kedua peringatan itu selalu ada.
Nabi Muhammad dinilainya sukses memimpin perjuangan di Madinah selama 10 tahun dan di Mekah 13 tahun, sebuah pencapaian yang luar biasa ketika itu. Nabi menggembleng umatnya menjadi pejuang yang tahan banting untuk memenuhi panggilan Allah. Karena itu ia berpesan agar setiap muslim meniru Muhammad sebagai pemberi teladan yang baik.
“Umat Muhammad bukan umat yang hanya menghendaki gorengan ayam terbang ke mulutnya, tidak. Umat Muhammad ialah umat yang bertempur berjuang membanting tulang, mengulur tenaga, memeras ia punya keringat. Itulah umat Muhammad. Itu sebabnya, aku begitu cinta keadaan Muhammad dan mengikuti sunah Muhammad itu tadi,” bebernya saat Maulid Nabi di Istana Negara, 1 Juli 1966.
Dekat dengan Mesjid
Omongan Bung Karno memang tidak berhenti di mulut saja. Sebagai bentuk kecintaannya pada Islam, dialah yang membudayakan peringatan maulid dan isra mikraj di Istana Negara. Bung Karno juga dekat dengan masjid.
Ada 13 masjid yang lekat dengan namanya seperti Masjid Istiqlal, Masjid Baiturrahim Istana Merdeka, Masjid Salman ITB, Masjid Syuhada Yogyakarta, Masjid Persis Bandung, dan Masjid Jamik Bengkulu.
Selain itu, ada Masjid Raya Bandung, Masjid Raya Ganting, Masjid Raya Sengkang, Langgar Merdeka Laweyan Solo, Masjid Taqwa Parapat, Masjid Raudhatus Sa’adah Musi Rawas, dan Masjid Ar-Rabithah Ende.
Sejauh mana kedekatan Bung Karno dengan 13 masjid itu, dibahas tersendiri oleh penulis pada Bab 6 buku ini di mulai halaman 135.
Bung Karno yang memberi nama dan merancang Masjid Istiqlal di Jakarta. Ia menginginkan Istiqlal sebagai masjid terbesar di Asia. Istiqlal diambil dari bahasa Arab yang berarti merdeka, untuk menghormati pejuang muslim yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Demikian juga nama Salman yang diambil dari nama salah satu sahabat Nabi Muhammad, yaitu Salman Al-Farisi. Begitu juga dengan nama syuhada yang diambil dari salah satu firman Allah SWT, ” Siapa yang nanti syahid akan tetap hidup.”
Salah satu hal yang menarik ialah Masjid Agung St Petersburg di Rusia yang kini dikenal dengan nama Masjid Biru. Masjid itu difungsikan kembali setelah Bung Karno memintanya secara khusus pada pemimpin Uni Soviet saat itu.
Mengenal Peninggalan Bung Karno
Dalam kata pengantarnya, Megawati Soekarnoputri mengatakan buku ini layak dibaca untuk meresapi, mengingat kembali, bagaimana pergumulan pemikiran dan perjuangan Bung Karno, keberpihakannya terhadap dunia Islam, spiritualitas kebatinannya tentang Tuhan Yang Maha Esa, dan betapa ‘cinta matinya’ ia pada sosok Nabi Muhammad SAW.
Alam pikir Bung Karno itu merepresentasikan kaum muslim yang memiliki kekuatan politik yang besar. Namun, akibar upaya desoekarnoisasi, secara sengaja dicitrakan bahwa Bung Karno dalam politiknya tidak membela Islam.
Padahal dalam pidatonya 1 Juni 1945, secara gamblang dan lugas, Soekarno menegaskan Sila Permusyawaratan Perwakilan dianggapnya sebagai yang paling cocok dengan Islam dan syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia.
“Beliau dalam kepemimpinannya membawa tradisi kehidupan Islam yang terintegrasi dengan alam pikir kebangsaan,” kata Megawati, putri sang proklamator.
Buku ini menjadi salah satu kamus dalam menyelami Bung Karno dengan keislamannya. Sebagai sebuah ensiklopedia, bahasannya sengaja dibuat runut dan ringkas sehingga Anda tidak lelah membaca setiap kalimat di dalamnya. Setiap potongan pidato Soekarno pun mampu membuat pembacanya melayang di zaman itu, membayangkan saat orator ulung itu berbicara.
Ditulis oleh : Despian Nurhidayat
Telah diterbitkan di Media Indonesia