Oleh Taufiq MR (Redaktur Exposè – Mizan)
“Cita-citanya adalah memberikan pencerahan dan cakrawala pengetahuan kepada dunia melalui tulisan. Saya kadang sering cemburu kepada buku-bukunya. Pernah suatu kali, saat kami sedang tidak punya uang sama sekali, dia malah bersikap konyol dengan cara membeli buku hanya untuk membuat tulisan. Saat itu saya begitu marah kepadanya dan berkata, ‘Memangnya saya makan dengan buku?’”
Kenangan tak terlupakan itu masih membayangi benak Anna Yuniarti, istri almarhum A.E. Priyono. Mungkin pembaca milenial saat ini tidak terlalu mengenal A.E. Priyono. Dunia perbukuan Indonesia, terutama di era 1980 hingga 1990-an, diwarnai oleh buku-buku hasil terjemahan dan suntingan A.E. Priyono. Terutama buku-buku berkualitas bertema keislaman, demokrasi, dan HAM. Buku-buku besutannya kala itu begitu menginspirasi, terlebih bagi kalangan pergerakan mahasiswa yang sedang berjuang melawan rezim Orde Baru. Tak hanya di kurun itu, kita masih bisa menemukan buku-bukunya yang lain, salah satunya buku setebal 899 halaman, Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi (2014)
Tribute bagi A.E. Priyono
Kehadiran buku Dwilogi A.E. Priyono, yang berjudul Menolak Matinya Intelektualisme dan Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi, yang merupakan kesaksian dari keluarga, sahabat, dan kolega ini, membuktikan betapa besar dan luasnya peran Mas A.E. (panggilan akrabnya) dalam membentuk dan menghiasi cakrawala pemikiran di Tanah Air. Mereka yang mengagumi sosok A.E. jika disimpulkan dalam sebentuk kata, tak pelak mengerucut pada tiga kata kunci: bersahaja, idealis, dan intelektualisme. Tidak ada kegemerlapan di sana, tidak ada sesuatu yang istimewa bermakna harta. Jika pun dipaksa ada, lagi-lagi sang istri hanya bisa berkata, “buku adalah hartanya.”
Ya, kekayaan besar A.E. berada pada pustaka kepribadiannya. Hidupnya memang berada di jalan sepi, tak menjanjikan materi. Dia sebenarnya bisa memilih jalur profesi yang dilakoni oleh teman- temannya yang berubah haluan dan menjadi kaya dari pekerjaan sebagai konsultan atau juru kampanye politik. Banyak di antara teman-teman sebaya dan sejawat A.E. Priyono berubah haluan, dari aktivis terjun ke politik praktis, atau dari pemikir bebas menjadi konsultan berbayar. Banyak yang mengajaknya, tapi dia bergeming.
Salah seorang temannya yang kini menjadi konsultan politik ternama bercerita, A.E. menguasai pendekatan kualitatif maupun kuantitatif yang menjadi bekal umum para konsultan politik. Tetapi kemampuan itu hanya digunakannya untuk perkembangan gerakan sosial. Seperti kita saksikan, dia memilih jalur soliter dan menjalani hidup seperti halnya seorang bohemian.
Kedua buku ini mencoba “menguliti” A.E. dari berbagai dimensi. Menarik sekali. Usman Hamid, salah satu editor buku ini—yang juga dikenal sebagai aktivis HAM—memetakan sosok multidimensi A.E. dengan meminjam perspektif Paul Johnson (Intellectualls, 1988) ketika melakukan sebuah eksaminasi atas sosok-sosok intelektual terkemuka di dunia seperti J.J. Rousseau, Karl Marx, Tolstoy, hingga Bertrand Russel. Analisis kritis Paul Johnson jika hendak disederhanakan sebetulnya ingin menakar konsistensi para intelektual, yakni bagaimana mereka memperlakukan keluarga dan pasangannya; seberapa setia terhadap sahabat-sahabatnya; dan seberapa hebat penghormatan seorang intelektual pada nilai-nilai kebenaran. Nah, dari kedua buku tersebut kita dapat menakar sendiri sampai tapal batas mana konsistensi dan integritas seorang A.E. Priyono.
Cukup banyak karya yang ditetaskan oleh A.E. Salah satunya adalah suntingan kreatif dan elaboratifnya terhadap kepingan-kepingan pemikiran Kuntowijoyo, yang berbuah buku Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Para cendekiawan Indonesia kontemporer saat ini, seperti Ahmad Syafii Maarif, Mochtar Pabottingi, Yudi Latif, dan lain-lain tak sedikit yang tercerahkan oleh buku tersebut.
Dalam rekam jejak penerbitan Mizan, misalnya, Paradigma Islam telah mengalami cetak-ulang berkali-kali. Sebuah rekor yang tidak hanya menunjukkan level best-seller suatu buku, tapi juga menunjukkan bagaimana buku ini telah menjadi suluh bagi semangat zaman (zeit geist) kala itu. A.E. tetaplah seorang A.E. yang seperti dulu, menjalani hidup dengan idealisme dan sarat ilmu. Sampai akhir hayatnya, dia hanya ingin tetap bermakna dan bermanfaat untuk aktivisme keilmuan dan transformasi Indonesia yang lebih baik.
Unduh gratis kedua buku digital persembahan untuk A.E. Priyono ini di Playstore