Kapan terakhir kali Anda membaca berita, artikel, atau iklan di media cetak? Hari ini, kemarin, atau sudah lama sejak kali terakhir Anda menjelajahi halaman demi halaman koran yang pernah menjadi kesayangan? Ya, mungkin dulu kita hanya mengandalkan koran yang dibeli secara spontan di jalan, atau yang diselipkan melalui celah pagar rumah setiap pagi setelah membayar biaya berlangganan untuk mendapatkan informasi. Rhenald Kasali dalam bukunya #MO juga mengingatkan kita pada masa-masa maraknya tukang koran yang menjajakan barang jualan di bus kota. Bahkan pada tahun 1980-an koran menjadi primadona sumber mata pencaharian kaum jelata khususnya di ibukota. Namun bagaimana dengan sekarang?
Tantangan Media Cetak
Sungguh kita tidak dapat memungkiri bahwa kini media cetak tidak lagi menjadi satu-satunya opsi untuk mendapatkan informasi. Kehadiran gawai dan internet telah mempermudah kita mengakses informasi dalam satu genggaman tangan, tak perlu lagi tangan lain untuk membolak-balik halaman. Lalu bagaimana perkembangan teknologi ini mempengaruhi industri surat kabar? Rhenald Kasali menyebutkan bahwa perusahaan penerbit media cetak memiliki dua sumber pendapatan utama atau “the main”, yakni pendapatan dari iklan dan dari penjualan surat kabar itu sendiri. Namun gempuran internet dan media sosial menyebabkan keduanya tak bisa lagi menjadi tumpuan pendapatan industri media cetak.
Hal itu tercermin dari data survei yang dilakukan Nielsen berkaitan dengan readership (jumlah orang yang membaca surat kabar tersebut) di 11 kota besar Indonesia. Data tersebut menyatakan bahwa dua tahun yang lalu, salah satu koran ternama yang berbasis di Jakarta memiliki readership di kisaran satu juta. Namun angka tersebut terus menurun hingga mencapai di bawah 400 ribu pada akhir triwulan IV 2018 lalu. Penurunan jumlah pembaca ini otomatis juga menurunkan daya tarik koran terhadap pemasang iklan. Akibatnya perusahaan penerbit media cetak pun tercekik karena kedua sumber pendapatan utama mereka mengalami penyusutan.
Tercekik, kemudian mati. Kita tentu pernah mendengar kabar tentang media-media cetak yang berhenti terbit. Dikutip dari thedisplay.net (03/01/2018), inilah beberapa media cetak Indonesia yang mengakhiri publikasi di tahun 2017-2019:
- Rolling Stone Indonesia
- Majalah HAI
- Cosmo Girl Indonesia
- Esquire Indonesia
- For Him Magazine Indonesia (FHM)
- Maxim Indonesia
- NYLON Indonesia
- Majalah Commando
- High End Teen Magazine
- Grazia Indonesia
- Tabloid Bola dan Bola Vaganza
Mengakhiri publikasi cetak memang bukan berarti media itu sendiri telah “mati”, beberapa di antaranya hanya berpindah platform. Seperti dituturkan oleh praktisi media dan pendiri detik.com Budiono Darsono (tirto.id, 08/02/2017), “Media memang takkan pernah mati, platform-nya saja yang berubah, dulu cetak sekarang online nanti ke depan belum tahu apalagi.”
The Main is No Longer The Main
Rhenald Kasali
Hal ini tentu membuat kekhawatiran akan masa depan industri surat kabar kian menjadi. Ditambah lagi bukan hanya informasi yang berpindah platform, tapi juga iklan. Orang-orang yang tadinya mengandalkan iklan baris untuk menawarkan barang atau jasa kini bermigrasi ke situs-situs marketplace atau media sosial. Para calon pembeli barang dan pengguna jasa pun tidak perlu skimming iklan baris, karena melalui platform online pencarian dapat dilakukan dengan lebih spesifik menggunakan kata kunci atau tagar. Begitu pula dengan iklan lowongan kerja yang biasa tayang pada koran Sabtu. Sebagian sudah berpindah kesitus seperti LinkedIn, JobStreet.com, dan lain-lain. Korporasi yang dulu memasang iklan di koran pun mulai beralih ke platform online seperti Google, Facebook, Instagram, Youtube, dan lain-lain.
The main is no longer “the main”, ujar Rhenald Kasali dalam #MO. Media massa membutuhkan kreativitas untuk mengeksplor sumber-sumber revenue baru setelah penjualan dan iklan tak lagi mampu menjadi tumpuan.
The Guardian mencari jalan baru
Salah satu jalan agar perusahaan media cetak tetap eksis ialah dengan mengandalkan revenue dari pembaca. Media-media besar dari luar negeri seperti The New York Times dan The Washington Post kini mengandalkan revenue dari subscriber mereka. Sementara itu Guardian memilih cara yang sedikit berbeda, namun sebetulnya sempat menjadi wacana sepuluh tahun lalu: membiayai diri dari donasi.
Pemimpin redaksi The Guardian, Katharine Viner mengungkapkan bahwa pada era ini independensi media rentan diintervensi oleh pemilik modal. Guardian pun membuat narasi tentang independensinya, tentang bagaimana mereka tidak ingin terikat dengan pemilik modal, dan tentang biaya besar yang diperlukan untuk mendapatkan berita berstandar tinggi. Mereka mengajak para pembaca untuk memberikan donasi demi kelangsungan pembiayaan media independen tersebut. Para pembaca bisa memberi donasi satu kali atau rutin setiap bulan melalui Visa, Mastercard, American Express, maupun PayPal.
Jalan yang ditempuh Guardian pun berbuah manis. Banyak orang berkontribusi dengan memberi donasi. Guardian terhitung memiliki 655 ribu kontributor reguler hingga awal tahun 2019. Jumlah pembaca mereka juga naik sebanyak 70 persen dalam tiga tahun terakhir. Para pembaca Guardian pun disebut sebagai super customer karena mereka telah turut andil dalam tahap funding, yaitu mengeluarkan uang demi kelangsungan kegiatan jurnalistik Guardian.
Lalu, apakah jalan kesuksesan Guardian dapat diaplikasikan pada media-media di Indonesia? Metode crowdfunding di Indonesia toh tidak lagi menjadi hal yang asing untuk mencari pendanaan. Situs-situs penggalangan dana online seperti Kitabisa.com dapat menjadi opsi bagi media-media di Indonesia untuk menghimpun donasi. Sayangnya, banyak pakar dan praktisi media global mengakui bahwa metode yang dipilih Guardian belum tentu bisa dijalankan di negara atau pada waktu yang lain. Di era Mobilisasi dan Orkestrasi ini, media massa masih harus terus bereksplorasi untuk mendapatkan“the main” baru.