Refleksi dari Yudi Latif
Pada Oktober 1347, dua belas kapal dagang Genoa berlabuh di pelabuhan Messina, Sisilia, setelah menempuh pelayaran panjang mengarungi Laut Hitam. Banyak pelaut di kapal itu meninggal dengan sekujur tubuh ditaburi gelembung hitam; membuat wabah penyakit itu disebut “Maut Hitam” (Black Death). Otoritas Sisilia terlambat mencegah kapal itu berlabuh. Akibatnya, selama lima tahun kemudian, benua Eropa dilanda pandemik penyakit pes, yang melenyapkan sekitar satu pertiga penduduknya.
Kehilangan banyak penduduk, pemukiman dan lahan pertanian yang semula sesak menjadi lebih longgar. Penduduk desa bisa menguasai tanah lebih luas. Ketersediaan lahan garapan bersamaan dengan kelangkaan tenaga kerja membuat rakyat tak mau lagi tunduk pada sistem perbudakan feodalisme, yang secara perlahan ambruk. Untuk mengolah lahan baru, para petani mulai mengajukan pinjaman uang, bukan untuk riba-konsumtif melainkan usaha produktif. Dengan itu, otoritas gereja mulai toleran terhadap bunga pinjaman (usury).
Harapan setelah Korona
Semua itu menumbuhkan kemakmuran bagi Eropa, yang sebagian diinvestasikan bagi inovasi teknologi. Era pasca “Maut Hitam” ditandai oleh kemajuan besar dalam perkembangan teknologi. Francis Bacon menandai hal itu dengan kehadiran mesiu, mesin cetak dan kompas. Perkembangan tersebut membuka jalan bagi ekspansi pasar yang meratakan jalan bagi kelahiran negara bangsa dan revolusi industri.
Alhasil, selalu ada sisi terang dari gelap. Kata “krisis” sendiri berasal dari bahasa Yunani, “krisis” (kata benda) atau “krino” (kata kerja), yang berarti “menarik batas” atau “titik balik”. Dalam bahasa Mandarin, padanannya adalah “wei-ji”. “Wei” artinya “bahaya”, sedangkan “ji” artinya “peluang”. Dalam momen gelap bahaya katastrofi, selalu ada cerah peluang untuk menarik garis batas antara kejahiliyahan dan keberadaban; sebagai titik balik untuk menyehatkan dan memajukan kehidupan.
Kebenaran dan kesejatian itu seringkali seperti bintang yang tak bisa dilihat kecuali di gelap malam. Dalam terang kehidupan normal, manusia sulit mengenali kebenaran hakiki. Kesejatian tersamar ornamen pernak-pernik penampilan. Saat zaman kelam datang, barulah kita kenali mana yang benar sejati, mana yang palsu manipulasi. Bila kita kurang yakin watak asli seseorang atau suatu bangsa, tunggulah hingga gelap menyergap: di sana bisa kita kenali watak sesungguhnya.
Demikianlah, di balik ancaman kematian dan kepanikan global akibat pandemik korona, bisa kita kenali sisi gelap dan sisi terang dari kehidupan kita. Saat korona menyergap, warga China merapatkan barisan dengan saling menyemangati, “Wuhan, kamu pasti bisa!”. Artis-artis Korea Selatan rela menyumbangkan sebagian kekayaannya. Warga Italia serempak mengibarkan bendera dari jendela rumahnya. Para konglomerat Amerika Serikat pun tak ketinggalan mendonasikan banyak dolar untuk membiayai riset vaksin korona.
Tunggulah hingga gelap menyergap, disana bisa kita kenali watak sesungguhnya
Sebaliknya, di negeri ini sesama warga saling menyudutkan. Ledakan permintaan akan barang-barang pencekal virus melambungkan hasrat menimbun dan memperkaya diri. Para pemimpin saling serobot mencari panggung, dengan pandangan saling berseberangan. Masalah serius disepelekan atau dihadapi dengan overacting.
Tak ada dermaga kepemimpinan yang kuat sebagai tambatan jutaan biduk yang oleng. Persoalan dihadapi dengan manajemen tambal sulam. Tak terlihat mekanisme antisipatif dan skema penanganan secara terpadu. Kegotong-royongan yang ditekankan Pancasila dirobek syahwat kekuasaan.
Moral politik jatuh ke titik nadir, saat musibah jadi ajang pencitraan dan mengail di air keruh. Beruntung sisi terang masih muncul dari kepahlawanan lembaga filantropi, tenaga medis dan ormas keagamaan atas aksi-aksi pencegahan dan pelayanannya.
Kembali ke rumah
Bagi mereka yang eling dan terang budi, musibah korona ini bisa jadi pengingat agar manusia tidak rakus, membatasi konsumsi pada makanan yang baik dan sehat. Pengurangan aktivitas di ruang publik memberi kesempatan pada alam untuk memulihkan diri dari berbagai polusi dan eksplotisasi. Kembali ke rumah juga bisa memperkuat simpul keluarga dan solidaritas sosial.
Implikasi korona yang memutus (membatasi) lalu lintas perhubungan dan perdagangan antarbangsa juga memberi kita kesadaran untuk membuka peluang baru. Bahwa untuk negara yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang banyak, terlalu riskan menggantungkan kebutuhan dasar hanya dengan impor. Dalam situasi krisis begitu terasa betapa ketahanan pangan saja tidak memadai karena tidak bisa menjamin daya sintas. Paling tidak untuk bahan primer, kita harus memperjuangkan kedaulatan pangan.
Masa krisis bisa menjadi momen titik balik. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa membeli secara murah tak bisa dipertahankan. Dengan kebijakan sepeti itu, kita tak akan bisa memasuki ekonomi-pengetahuan, dengan kemampuan memberi nilai tambah ilmu-pengetahuan dan teknologi bagi sumberdaya yang kita miliki. Tanpa usaha menanam (memproduksi) sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami defisit neraca pedagangan dan tak akan bisa mengembangkan kemakmuran secara inklusif.
Disrupsi korona juga memberi kita terang pikir untuk mengakhiri tendensi pembiayaan rutin dan pembangunan secara boros, dengan besar pasak daripada tiang. Pada momen sulit seperti ini bukanlah saat yang tepat untuk merealisasikan proyek mercusuar. Kita harus menimbang ulang rencana pemindahan Ibukota, yang tak bisa dibiayai sendiri tanpa beban utang. Itulah hitam-putih dampak korona yang bisa memberi pilihan jalan agar kita bisa keluar dari kelam musibah menuju terang pengharapan.