Jika menelusuri kembali pertistiwa 10 November 1945, perhatian kita akan tertuju kepada Bung Tomo (Sutomo) dan Kota Surabaya. Bung Tomo dikenal sebagai penyemangat tempur Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Kecintaannya kepada bangsa inilah yang mendorongnya melakukan hal itu.
Dalam buku Mata Air Keteladanan karya Yudi Latif, disebutkan bahwa semangat Bung Tomo merupakan perwujdan dari sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam buku tersebut, Yudi Latif menjadikan Bung Tomo sebagai contoh teladan dalam pengamalan Pancasila, “Semangat ketuhanan yang mendorong keberanian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan juga mewujud pada sosok Sutomo, legenda pertempuran Surabaya, 10 November, yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Baik selama revolusi kemerdekaan, maupun setelah revolusi kemerdekaan berakhir, Bung Tomo secara konsisten memperjuangkan kebenaran dan keadilan baik terhadap tindakan otoritas asing maupun terhadap otoritas bangsa sendiri.”
Nasionalisme Hari Pahlawan
Mari kita telusuri kembali peristiwa heroik di Hari Pahlawan itu, seperti yang dituliskan dalam buku Mata Air Keteladanan. Peristiwa ini diawali oleh kedatangan NICA (Belanda) yang ikut pasukan Inggris ke Tanah Air untuk melucuti tentara Jepang yang masih tersisa.
Pada 19 September 1945 malam, orang-orang Belanda yang dipimpin W.V.Ch Ploegman mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato/Hotel Orange Surabaya. Para pemuda Surabaya geram melihat bendera itu. Indonesia sudah merdeka dan bendera Belanda tak sepantasnya lagi berkibar di bumi Nusantara. Para pemuda pun memanjat dinding hotel dan merobek bendera merah-putih-biru itu menjadi bendera merah putih.
Keadaan makin memanas. Pertempuran yang terjadi antara rakyat dan pihak Sekutu itulah yang kemudian membuat pasukan Inggris berniat melucuti senjata rakyat Indonesia. Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan sekitar 6.000 orang. Pertempuran sengit sudah diperkirakan bakal berlangsung. Pasukan Inggris menyerang Surabaya melalui darat, laut, dan udara.
Percikan Semangat Bung Tomo
Dalam situasi konflik itu, muncul pemuda bernama Sutomo. Pemuda yang disapa Bung Tomo. Pria kelahiran Surabaya, 3 Oktober 1920, ini adalah wartawan yang pada usia 17 menjadi pandu terbaik se-Hindia Belanda dan memiliki minat pada dunia radio. Ia mendirikan Radio Pemberontakan setelah meminta izin Menteri Penerangan Amir Syarifuddin.
Dini hari 10 November 1945, para pejuang siaga. Mereka berasal dari berbagai kelompok seperti TKR, PETA, dan pasukan lain. Di tempat lain pada hari itu, di Yogyakarta, diselenggarakan Kongres Pemuda yang dihadiri dwitunggal Soekarno-Hatta. Komandan Tentara Inggris di Jawa Timur, Mayjen Mansergh, mengultimatum para pemuda Surabaya untuk menyerahkan diri dan senjata yang dirampas para pemuda dari militer Jepang. Ultimatum itu dianggap sepi oleh para pemuda Surabaya. Pukul 09.00 WIB, tentara Inggris mulai menembaki pertahanan para pemuda Surabaya. Pertempuran di Surabaya diperkirakan menelan korban 16 ribu jiwa rakyat Indonesia.
Bung Tomo tampil melalui corong Radio Pemberontakan. Markasnya terletak di sebuah rumah kecil di dalam gang, diapit dua rumah China, dan di dalamnya terdapat peralatan pemancar radio yang amat sederhana. Begitulah SK Trimurti pernah mengunjungi dan mengisahkannya kembali.
Namun ternyata, dari ruang kecil itulah menggelegar suara lantang Bung Tomo lewat radio:
Bismillahirrohmanirrohiim! Merdeka!!! Saudara-saudara tukang becak! Saudara-saudara tukang soto, bakul-bakul tahu. Saudara-saudara orang Madura, tukang-tukang loak.
Kita diserang, maka kita sekarang akan menyerang. Darah pasti akan banyak mengalir. Jiwa akan banyak melayang. Tetapi pengorbanan kita tidak akan sia-sia. Anak-anak, cucu-cucu di kemudian hari Insya Allah pasti akan menikmati segala hasil dari perjuangan kita. Saya tahu, wanita-wanita kita tidak mau meninggalkan kota. Saya tahu banyak pemuda kita tetap berada di kota. Maka dengan ini, sekali lagi, semua pasukan kami perintahkan: Majulah! Hapuslah lawan kita ini! Tuhan akan beserta kita! Kemenangan akhir pasti kita capai! Allahu Akbar!
Pidato Bung Tomo di Radio Pemberontakan itu seperti seruan jihad, yang kemudian direlai Radio Republik Indonesia. Dengan suara membahana, “Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!,” begitulah beliau membuka pidatonya yang legendaris itu. Dalam pidato yang ditujukan kepada “rakyat di seluruh Indonesia” itu, menjadi bukti sejarah bersatunya kekuatan bangsa.
Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita, ini jawaban rakyat Surabaya, ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian: Hai tentara Inggris! Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.
Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita: Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapa pun juga.
Dalam pidatonya tersebut, Bung Tomo mengajak rakyat Surabaya untuk bersiap menghadapi keadaan genting. Namun Bung Tomo mengingatkan, “Jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka. Itu kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.” Lalu Bung Tomo menegaskan, “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”
Jika kita melihat apa yang dilakukan oleh Bung Tomo dan kawan-kawannya pada waktu itu, kita akan melihat semangat gotong royong di antara mereka, tak hanya keberanian yang membara. Pada hari-hari ini, tentunya semangat kepahlawanan yang telah dikobarkan oleh Bung Tomo itu bisa diekspresikan dalam berbagai bentuk.
Pandemi virus korona yang kini melanda bumi bisa kita jadikan momen untuk mengaplikasikan semangat kepahlawanan itu; kita bisa melakukan apa saja, mulai dari mematuhi protokol kesehatan dengan ketat hingga menjadi relawan secara langsung. Bung Tomo memang telah tiada, tetapi bukan tidak mungkin kita akan menemukan banyak Bung Tomo-Bung Tomo lain di sekitar kita, tak hanya di Kota Surabaya. Selamat Hari Pahlawan!