Nukilan dari buku Strawberry Generation karya Rhenald Kasali
Paparan Teknologi digital membuat struktur otak anak-anak muda berubah. Anda tahu di dunia digital, informasi mengalir dari mana-mana dan melimpah ruah. Sejak kecil, otak anak-anak kita sudah terbiasa menerima input yang melimpah.
Garry Small seorang pakar saraf dari University of California, menemukan, anak-anak yang otaknya banyak menerima input secara digital ini secara kognitif bisa menjadi superior. Maksudnya, bisa lebih cepat menerima informasi dan cepat pula mengambil keputusan, itu karena mereka didukung oleh banyaknya informasi yang masuk dalam otak dan pandai mengklasifikasikannya.
Belajar Menyenangkan dengan Musik
Kondisi semacam ini membuat struktur otak mereka berubah menjadi multitasking . Mereka bisa belajar sambil menonton tv, mendengarkan musik, men- tweet , chatting , atau berselancar di internet. Itulah suasana belajar yang menyenangkan.
Dan bagi mereka, belajar mestinya menyenangkan. Apalagi sejak kecil mereka sudah dibesarkan dengan cara belajar yang menyenangkan.
Mereka belajar sambil menonton acara TV, seperti Sesame Street atau Dora The Explorer. Kondisi semacam inilah yang kadang kurang dipahami oleh kalangan digital immigrants, para guru atau dosen. Mereka ragu anak-anak bisa belajar sambil memonton TV, mendengarkan musik ataupun chatting. Yang dimaksud dengan digital immigrants disini adalah generasi yang lahir sebelum berkembangnya teknologi internet, mereka pendatang baru di era digital.
Bagi kelompok digital immigrants ini, belajar mestinya bukan seperti itu. Belajar mesti fokus, serius, dan seringkali mereka membuat suasananya menjadi tidak menyenangkan. Anda familier dengan istilah guru galak atau dosen killer, bukan? Mereka yang kebanyakan dari kelompok digital immigrants itu rupanya ingin menerapkan metode belajar yang seperti dulu mereka alami.
Apalagi kerap bahasa guru-murid atau dosen-mahasiswa tidak nyambung. Guru atau dosen tidak tahu bahasa slang yang biasa dipakai anak didiknya.
Kondisi tidak nyambung semacam inilah yang membuat Rhenald Kasali prihatin. Lalu harus bagaimana? Menurutnya, kita tidak bisa lagi memaksa anak-anak kita belajar dengan cara lama. Kasihan mereka. Apalagi, struktur otak mereka juga sudah berubah. Oleh sebab itu, para digital immigrants itulah yang harus menyesuaikan diri dengan cara belajar mereka. Jangan dibalik! Ayo berubah. Tidak sulit kok. Belajar Mesti Menyenangkan